Minggu, 04 Januari 2009

Politik dan Mahasiswa*)

Politik dan Mahasiswa*)


Mahasiswa telah terbukti selalu menjadi pelopor dalam sejarah suatu Bangsa. Pada konteks Indonesia, pengalaman empirik juga membenarkan sekaligus mempertegas realitas tersebut. Catatan terkini memperlihatkan bahwa dengan kemahirannya dalam menjalankan fungsi sebagai Intellectual Organic, mahasiswa telah berhasil memporak-porandakan rezim Orde Baru dan menghantarkan Indonesia kedalam suatu era yang saat ini sedang bergulir, yakni: “Orde Reformasi“.


Namun pada sisi yang lain, fakta juga membuktikan bahwa sampai dengan saat ini, mahasiswa Indonesia belum mampu untuk mendongkel antek-antek Orde Baru dari jajaran elite kekuasaan. Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa kehadiran mereka di situ untuk menutupi segala kebobrokan kolektif yang telah mereka lakukan di masa lalu.


Dengan kenyataan yang demikian, maka tidaklah mengherankan apabila proses reformasi masih tersendat-sendat dan belum dapat berjalan secara linear. Menurut Sebastian de Grazia (1966 : 72-74), kondisi seperti ini secara cepat atau lambat, otomatis akan menimbulkan suatu situasi anomie yang kuat di dalam kehidupan ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara, yang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi kesejahteraan mayoritas rakyat.


Bertolak dari argumen di atas, maka mahasiswa dituntut/diharapkan dapat terjun ke arena politik dalam rangka mengawal seluruh agenda reformasi, demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil di dalam kemakmuran dan makmur di dalam keadilan secara demokratis. Akan tetapi, yang menjadi persoalannya adalah bagaimanakah seharusnya mahasiswa berpolitik….??? dan aksi politik yang bagaimanakah yang harus dilakukan oleh mahasiswa….??


Sebelum menjawab kedua pertanyaan di atas, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa istilah politik dalam tulisan ini dipahami sesuai dengan konsep berpikirnya Antonio Gramsci, sehingga di sini politik didefinisikan sebagai aktivitas pokok manusia dimana manusia dapat mengembangkan kapasitas dan potensi dirinya. (Roger Simon, 1999 : 136).


Jika definisi di atas diejawantahkan dalam bentuk aksi, maka mahasiswa dapat berpolitik dalam dua pengertian, yakni : Pertama, berpolitik dalam arti konsep (Concept). Disini mahasiswa secara individual maupun kelompok, harus mengajukan gagasan, pikiran, solusi atau interpretasi mengenai apa yang menjadi kehendak dari mayoritas rakyat. Kedua, berpolitik dalam arti kebijakan (Belied). Di sini mahasiswa sebagai kelompok harus menjadi Pressure Groups yang memperjuangkan aspirasi rakyat, dengan cara mempengaruhi orang-orang yang memegang kebijakan ataupun yang menjalankan kekuasaan, dari luar sistem kekuasaan.


Apabila mahasiswa berpolitik dalam artian yang pertama, maka mahasiswa dituntut untuk benar-benar memahami cara berpikir ilmiah, yaitu teratur dan sistematik. Sedangkan apabila mahasiswa berpolitik dalam arti kebijakan (Belied), maka mahasiswa harus betul-betul mengetahui posisi individu dalam kehidupan ber-Negara, posisi konstitusi dalam kehidupan ber-Negara, posisi Negara dalam menjalin relasi dengan warganya, konstelasi politik terkini dan menguasai manajemen aksi. Pada tataran ideal, mahasiswa seharusnya berpolitik dalam arti konsep (Concept) maupun dalam arti kebijakan (Belied) secara bersamaan. Ini berarti, mahasiswa harus berpolitik sebagai politisi ekstra perlementer.

APAGUNANYA KITA MEMILIKI SEKIAN RATUS RIBU ALUMNI SEKOLAH YANG CERDAS, TAPI RAKYAT DIBIARKAN BODOH … ??? JIKA KONDISI SEPERTI INI TERUS DIPERTAHANKAN, MAKA SEGERALAH KAUM TERDIDIK ITU AKAN MENJADI PENJAJAH RAKYAT DENGAN MODAL KEPINTARAN MEREKA”

*)Fahruddin Fitriya, Mhs. FH UNNES & FPBS IKIP PGRI Semarang.

SAJAK TANPA KATA

SAJAK TANPA KATA


Inilah kata-kataku yang pertama,

biarlah negeri ini hancur ,

sebab negeri ini sudah carut-marut tak karuan

para senimannya asyik beronani dengan seninya, para elit politiknya ribut tak karuan, mulutnya berbusa, sedangkan tangannya yang hitam

bergentayangan dimana saja

mereka bersilat lidah menyembunyikan tangannya yang berlumur darah dengan meminjam bait-bait suci dari tuhan, negeri ini sudah tak bertuan kawan

sebab, para penguasa hanya sibuk bersuara tanpa makna

karna itu kita mesti kepalkan tinju

memukul mulut mereka yang bau memotong tangan mereka yang penuh dengan dosa, apalagi yang kalian tunggu

menunggu takkan menghasilkan apa-apa, selama badut-badut itu masih bisa kentut kita pasti akan di tikam dari belakang, selama badut-badut itu masih bisa bernapas kita pasti akan di gilas,

mari bersama-sama kita lemparkan mereka ke kantong sampah, kita benamkan ke lumpur hitam,

agar mereka diam tak bersuara

lalu mati,..... tak bertenaga,.............

Mahasiswa Baru Harus mendapat pendampingan dan pendidikan Politik

Mahasiswa Baru Harus mendapat pendampingan dan pendidikan Politik

*Lukman Hakim



Dimasa sekarang ini sangat banyak mahasiswa yang apatis terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. Hal ini cukup menakutkan bagi gerakan mahasiswa yang akan datang, kita sebagai orang yang mengakui dirinya sebagai aktivis mahasiswa memiliki tanggung jawab yang berat ketika kita harus dituntut mengembalikan kejayaan mahasiswa seperti pada masa kejatuhan Suharto yakni Reformasi ’98. Bahwa ketika itu betapa hebatnya gerakan mahasiswa, betapa kritisnya mahasiswa yang berani meneriakkan turunkan Suharto (Rezim terkuat saat itu). Mahasiswa adalah agent of change, mahasiswa adalah agent perubahan, agent social control. Apakah sekarang itu hanya menjadi slogan semata? Kemudian siapa yang peduli dengan mahasiswa kalau mahasiswa juga tidak peduli dengan dirinya sendiri. Kita ini mahasiswa dan seharusnya memahami bahwa peran dan tanggung jawabnya jelas. Tidak perlu kita melakukan hal-hal yang tidak selayaknya dilakukan oleh mahasiswa. Kalau kawan-kawan belum mengerti apa dan bagaimana peran dan tanggung jawab kita sebagai mahasiswa tentunya kawan-kawan membutuhkan pendampingan, dan pendampingan itu harus intensif dilakukan. Dan kawan-kawan mahasiswa juga butuh pendidikan politik untuk mendewasakan pemikiran kawan-kawan mahasiswa. Karena pola pikir Hedonis yang kian marak telah menyebabkan kita menjadi apatis dengan apa yang terjadi dengan bangsa ini. Sadarkah kawan-kawan mahasiswa bahwa bangsa ini sedang dijajah saat ini. Jelas secara ekonomi bangsa kita dijajah oleh para kapitalis, bahkan tidak hanya itu kehidupan politik rakyat pun ikut terjajah, karena dalam pertarungan politikpun mulai nampak siapa yang berkantong tebal dia yang akan terpilih, siapa yang punya modal dia yang menang. Lama-lama bangsa ini pun bisa dibeli oleh mereka. Untuk itulah kawan-kawan mahasiswa kita harus melawan!!! Jangan sampai anak cucu, dan keturunan kita menjadi budak mereka. Cukup sudah jadi bangsa kuli bangkit jadi bangsa yang mandiri.


Kawan-kawan mahasiswa harus mulai bangkit dari lelapnya tidur panjang, kini saatnya malawan kawan. Bagaimana kemudian kita harus melawan? Kita harus mulai bicara tentang problem masyarakat sampai dengan problem bangsa. Minimal kawan mahasiswa mengikuti perkembangan informasi seputar ekonomi dan politik. Kemudian dari informasi tersebut mulailah kawan-kawan mahasiswa membangun kelompok diskusi untuk mendiskusikan maslah-masalah tersebut dan mencari solusinya. Kalau bukan kawan-kawan mahasiswa siapa lagi?, kalau bukan sekarang kapan lagi?, Selamat berjuang kawan, LMND siap bersama-sama kawan-kawan berjuang menjadikan bangsa ini bangsa yang mandiri anti penjajahan asing.


*Ketua LMND UNNES 2008

JANGAN TERKECOH NAMA BESAR PARTAI

JANGAN TERKECOH NAMA BESAR PARTAI

*Rahmat Sutopo


Manjelang Pemilu masih banyak orang yang belum mengerti tentang bagaimana mensikapi Pemilu 2009, apakah mereka memutuskan golput atau memilih, kalaupun memilih belum tentu mantap dengan pilihannya, bahkan belum tentu mengenal siapa yang dipilih. Inilah problema kita bersama. Bahwa sudah sering di bicarakan oleh banyak kalangan kalau pemilu yang dulu ibarat memilih kucing dalam karung. Pemilu 2009 ini pun juga tidak akan jauh dari itu, karena banyak calon yang akan dipilih pada pemilu legislative nanti yang tidak di kenal sosok dan profilnya di masyarakat. Para calon yang berkampanye hanya menjual tampang mereka dengan memasang atribut dan wajah nya di pinggir jalan-jalan protocol. Tidak banyak dari calon-calon tersebut yang menawarkan program. Bagaimana masyarkat akan memilih dengan benar jikalau yang di pamerkan hanya wajah para calon-calon yang sebelumnya tidak pernah hadir dalam aktivitas-aktivitas membela hak rakyat. Sebagai masyarakat yang berpendidikan tentunya kita sebagai mahasiswa lebih memperhatikan apa yang di usung oleh tiap calon, jangan mau tertipu oleh kecantikan, kegantengan ataupun slogan-slogan yang seakan membela kepentingan kita. Kita juga harus tahu latar belakang sang calon, jangan-jangan orang itu pernah melakukan korupsi atau terlibat criminal. Kita juga jangan mudah percaya pada kebesaran partai, karena partai besar belum tentu memiliki calon yang loyal kepada rakyat. Tentunya mahasiswa bukan berada pada level rendahan sehingga bisa lebih jeli memilih wakilnya di legislative maupun di eksekutif nanti.

*Ketua LMND Semarang

Rabu, 24 Desember 2008

Privatisasi Berkedok Otonomi “BHP” bukan Solusi,.!!!

Privatisasi Berkedok Otonomi “BHP” bukan Solusi,.!!!


Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sendiri dikenal lemah kecakapan akademiknya. PTN/PTS tidak mampu menghasilkan karya-karya penelitian bermutu yang berguna bagi pengembangan industri dalam negeri. Jalan pintasnya, industri membeli teknologi dari negara maju, yang berarti ketergantungan terhadap kekuatan modal internasional. Akibatnya PTN/PTS pun tidak mempunyai daya tawar sama sekali terhadap industri dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kepentingan industri, dengan memfungsikan dirinya semata-mata pemasok tenaga kerja melimpah dan murah. Pemerintah mengekalkan hegemoni sistem itu melalui kewenangan legalnya untuk memaksakan kebijakan pendidikan.

Dengan Privatisasi kampus dengan wujud BHP-nya berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga patut dilepaskan pemerintah. Selama kontrol dari mahasiswa dan masyarakat tidak berfungsi, tidak tertutup kemungkinan kampus akan menaikkan SPP tanpa banyak protes. Kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya akan semakin otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.

Intervensi pemodal ke dalam kampus makin besar, didesak oleh kebutuhan kampus untuk membiayai dirinya. Kampus akan semakin jauh dari fungsinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi industri pendidikan yang komersial, semata-mata berfungsi sebagai pabrik bagi “bahan baku” tenaga kerja yang terampil.

Privatisasi tidak sejalan dengan otonomisasi kampus. Dalam privatisasi, mahasiswa sama sekali diabaikan. Hak mahasiswa untuk mengorganisasi diri tidak disinggung-singgung. Hubungan antara mahasiswa dan aparat pendidikan tidak dijelaskan. Padahal, justru mahasiswa yang paling terkena dampak kebijakan tersebut, baik selama kuliah maupun setelah bekerja. Sangat mendesak penguatan daya tawar mahasiswa terhadap Rektorat melalui organisasi mahasiswa yang solid dan mengakar ke bawah, dalam arti betul-betul konsisten memperjuangkan tuntutan mahasiswa sehingga dapat menarik simpati massa mahasiswa. Perjuangan untuk kepentingan akademik ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan dalam spektrum yang lebih luas, yaitu menentang sistem pendidikan kapitalistik yang tidak memanusiakan. Pendidikan yang hanya menghasilkan sekrup-sekrup

NEXT,..2

PREV,..1 mesin industrialisasi untuk memupuk kekayaan kalangan kapitalis. Pendidikan macam ini tidak bisa dibiarkan menelan kita. Kontrol dari mahasiswa dan masyarakat luas harus dihidupkan.

Privatisasi tidak boleh dilakukan sebelum prasyarat-prasyarat partisipasi politik tersebut tumbuh. Kebebasan berorganisasi bagi mahasiswa (Serikat/Liga mahasiswa) dan staf pendidikan (serikat buruh pendidikan), kontrol mahasiswa dan kedewasaan dari kalangan penentu kebijakan pendidikan sendiri. Prasyarat tersebut hanya bisa dihidupkan dengan mengajukan tuntutan-tuntutan seperti kesamaan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi (termasuk anak-anak buruh, nelayan, petani, dsb) yang selama ini didominasi lapisan menengah, dan penurunan biaya pendidikan. Idealnya, pendidikan gratis. Dengan kekayaan alam yang melimpah, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh hak berupa fasilitas pendidikan modern dan murah (gratis!). Tuntutan pembebasan biaya pendidikan tidak lain adalah bagian dari perjuangan menciptakan tatanan demokrasi sosial (di dalamnya tercakup demokrasi politik, ekonomi dan kebudayaan).

UU BHP semakin membuat hancur pendidikan di Indonesia, UU BHP yang aslinya adalah Komersialisasi pendidikan di Indonesia tidak hanaya menghancurkan pendidikan tetapi membawa Negara kearah jurang kehancuran. Pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar setiap warga Negara Indonesia yang harus dipenuhi oleh pemerintah, dengan adanya UU BHP maka pemerintah akan melepas tanggungjawabnya membiayai pendidikan padahal telah jelas diatur dalam tata Negara kita atau UUD 1945 bahwa pendidikan adalah tanggung jawab Negara untuk membiayainya yang diambilkan dari APBN atau APBD minimal 20%.

Bukan Privatisasi atau komersialisasi pendidikan yang dibutuhka rakyat, tetapi pendidikan yang GRATIS untuk rakyat. Mari kita serukan kepada pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat.


Oleh : Fahruddin Fitriya

Dari kesadaran ekonomi menuju kesadaran politik

Dari kesadaran ekonomi menuju kesadaran politik

Saat ini gerakan rakyat dalam hal ini kaum pekerja dan kaum buruh muncul akibat kesadaran ekonomi. Gerakan itu muncul ketika muncul permasalahan tentang upah rendah dan hal-hal lain yang hanya ada dalam ruang lingkup buruh dan majikan. Padahal sebenarnya majikan dan para pengusaha itu berlindung dibalik peraturan yang dibuat pemerintah yang jelas substansi dari aturan dan undang-undang itu kurang berpihak terhadap kaum buruh. Dalam UU No 13 tahun 2004 ada yang dinamakan Outsourching yang jelas-jelas ini hanya mengunjungkan kaum borjuasi saja. Untuk itu semua kalangan masyarakat terutama buruh harus lebih aktif untuk melakukan penolakan terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada klas pekerja ini. Selain Outsourching permasalahan upah yang sangat rendah yakni di bawah kebutuhan Hidup Layak juga menjadi permasalahan yang perlu segera diselesaikan. Fenomena yang terjadi saat ini naiknya harga kebutuhan pokok tanpa di ikuti kenaikan upah buruh semakin menambah penderitaan para buruh di negeri ini. Kesejahteraan yang mereka harapkan hanya menjadi mimpi semata ketika pemerintah lebih setia terhadap para kapitalis dan borjuis asing yang hanya mau berinvestasi ketika upah buruh rendah. Ini sangat ironos memang. Pemerintahan SBY JK yang langsung dipilih oleh rakyat tidak bisa mengemban amanah rakyatnya dan cenderung berfikir bagaimana agar investasi bisa masuk ke Negara ini. Padahal keuntungan hasil investasi asing itu hanya bisa di nikmati segelintir orang saja. Kemana aturan main atau rulr of the game sebagai Negara yang demokratis, pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam negara demokrasi yang setengah matang ini peran rakyat sangat di butuhkan sebagai Agent Sosial Control, rakyat adalah sebagai pengawas kinerja pemerintah. Dan ini perlu kita sadari kawan-kawan. Ketika paradigma kita sudah mengerti bahwa ketika hidup dalam Negara demokrasi, konsekuensi logis nya adalah kita juga harus mengerti setiap aktivitas politik pemerintah. Ketika kita (mahasiswa) melakukan Aksi Demo misalnya itu mrupakan salah satu aktivitas politik. Dan itu wajar terjadi di Negara demokrasi seperti di Indonesia meskipun demokrasinya masih setengah matang. Saatnya berjuang bersama, Buruh, mahasiswa, Petani dan kaum miskin kota harus bersama-sama melakukan gerakan meningkatkan kesadaran ekonomi menjadi kesadaran politik.

Adi, ketua komsat UNDIP

Selasa, 23 Desember 2008

Che Guevara

Che Guevara

Masa muda Ernesto “Che” Guevara adalah sebuah petualangan dan penjelajahan. Meskipun dia dibesarkan di keluarga yang berkecukupan di Argentina dan belajar di bidang kedokteran, dia banyak menghabiskan waktunya untuk mengelilingi Amerika Latin.

Pada tahun 1953 terjadi kekacauan politik di Guetemala. Di tahun 1950 seorang komandan militer sayap kiri, Jacobo Arbenz, terpilih sebagai presiden dan memulai untuk melakukan reformasi politik. Dia meliberalkan hukum-hukum perburuhan, menaikkan upah minimum, mengakhiri represi terhadap aktifitas politik, dan memulai sebuah kebijakan reformasi agraria. Amerika Serikat menjadi cemas.

18 Juni 1954, rombongan pasukan tempur yang diangkut pesawat tempur Amerika menyerbu melalui Honduras. Kaum revolusioner di Guetamala meminta kepada Arbenz untuk mempersenjatai rakyat sebagai alat untuk melawan agresi Amerika, namun sang Presiden Guetemala itu menolaknya. Malahan Arbenz menggunakan satuan tempur reguler Guetemala untuk menghadang invasi. Kesuksesan dalam menghadapi invasi Amerika itu tidak mengurangi ketegangan di Guetamala. Setelah kegagalan invasi yang menggunakan serdadu bayaran itu, imperialis AS melirik kubu sayap kanan militer dan mengagitasinya untuk melakukan kup. Pada 21 Juni, pemerintahan Arbenz ambruk dan dia mengundurkan diri dari jabatannya. Kedudukannya digantikan tokoh militer sayap kanan, Kolonel Monzon. Aktivitas-aktivitas politik yang dilakukan Che di Guatemala mendapat perhatian CIA, yang memasukkan dia dalam daftar orang-orang komunis yang berbahaya yang harus segera diringkus. Informasi ini dibocorkan pejabat kedutaan Argentina, yang menawarkan perlindungan untuk Che. Dari kegagalan pemerintahan Arbenz di Guetemala,Che belajar dua hal penting. Dia menyadari imperialis AS adalah musuh terbesar rakyat Amerika Latin dan kaum revolusioner tidak bisa mengandalkan mesin-mesin negara atau pemerintahan kapitalis, meskipun yang progresif seperti di Guatemala. Tragedi Guetemala meyakinkan Che akan kebutuhan solusi revolusioner untuk memecahkan masalah-masalah Amerika Latin. Dia sekarang menyebut dirinya seorang Marxis dan berargumen seharusnya Arbenz mempersenjatai rakyat untuk melawan agresi yang disponsori imperialis AS.

Che meninggalkan revolusi yang gagal itu dan pergi ke Mexico. Di sana dia ketemu revolusioner Kuba yang sedang dalam pelarian, Fidel dan Raul Castro. Mereka berbincang semalaman dan paginya dia memutuskan untuk bergabung dengan Castro dalam ekspedisi revolusioner ke Kuba. “Setelah pengalaman mengelilingi Amerika dan akhir kudeta di Guetemala, yang kesemuanya tidak begitu menarikku untuk bergabung dengan kaum revolusioner melawan tirani”, begitu Che berkata. Besarnya komitmen Che terhadap Internasionalisme sangat jelas didemonstrasikan tahun 1965, ketika dia secara tegas mengundurkan diri dari pemerintahan dan pergi untuk membantu gerakan revolusiner baru secara pribadi, pertama di Kongo dan kemudian di Bolivia. Saat berada di Bolivia tahun 1967, Che ditangkap CIA yang membekingi tentara Bolivia dan membunuhnya di usia 39 tahun. Tapi saat ini namanya dan reputasinya tertanam dengan kuat, dan wajahnya muncul dalam bendera-bendera, plakat, dan muncul sebagai personifikasi revolusi di dunia.

Oleh : Administrator