Rabu, 24 Desember 2008

Privatisasi Berkedok Otonomi “BHP” bukan Solusi,.!!!

Privatisasi Berkedok Otonomi “BHP” bukan Solusi,.!!!


Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sendiri dikenal lemah kecakapan akademiknya. PTN/PTS tidak mampu menghasilkan karya-karya penelitian bermutu yang berguna bagi pengembangan industri dalam negeri. Jalan pintasnya, industri membeli teknologi dari negara maju, yang berarti ketergantungan terhadap kekuatan modal internasional. Akibatnya PTN/PTS pun tidak mempunyai daya tawar sama sekali terhadap industri dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kepentingan industri, dengan memfungsikan dirinya semata-mata pemasok tenaga kerja melimpah dan murah. Pemerintah mengekalkan hegemoni sistem itu melalui kewenangan legalnya untuk memaksakan kebijakan pendidikan.

Dengan Privatisasi kampus dengan wujud BHP-nya berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga patut dilepaskan pemerintah. Selama kontrol dari mahasiswa dan masyarakat tidak berfungsi, tidak tertutup kemungkinan kampus akan menaikkan SPP tanpa banyak protes. Kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya akan semakin otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.

Intervensi pemodal ke dalam kampus makin besar, didesak oleh kebutuhan kampus untuk membiayai dirinya. Kampus akan semakin jauh dari fungsinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi industri pendidikan yang komersial, semata-mata berfungsi sebagai pabrik bagi “bahan baku” tenaga kerja yang terampil.

Privatisasi tidak sejalan dengan otonomisasi kampus. Dalam privatisasi, mahasiswa sama sekali diabaikan. Hak mahasiswa untuk mengorganisasi diri tidak disinggung-singgung. Hubungan antara mahasiswa dan aparat pendidikan tidak dijelaskan. Padahal, justru mahasiswa yang paling terkena dampak kebijakan tersebut, baik selama kuliah maupun setelah bekerja. Sangat mendesak penguatan daya tawar mahasiswa terhadap Rektorat melalui organisasi mahasiswa yang solid dan mengakar ke bawah, dalam arti betul-betul konsisten memperjuangkan tuntutan mahasiswa sehingga dapat menarik simpati massa mahasiswa. Perjuangan untuk kepentingan akademik ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan dalam spektrum yang lebih luas, yaitu menentang sistem pendidikan kapitalistik yang tidak memanusiakan. Pendidikan yang hanya menghasilkan sekrup-sekrup

NEXT,..2

PREV,..1 mesin industrialisasi untuk memupuk kekayaan kalangan kapitalis. Pendidikan macam ini tidak bisa dibiarkan menelan kita. Kontrol dari mahasiswa dan masyarakat luas harus dihidupkan.

Privatisasi tidak boleh dilakukan sebelum prasyarat-prasyarat partisipasi politik tersebut tumbuh. Kebebasan berorganisasi bagi mahasiswa (Serikat/Liga mahasiswa) dan staf pendidikan (serikat buruh pendidikan), kontrol mahasiswa dan kedewasaan dari kalangan penentu kebijakan pendidikan sendiri. Prasyarat tersebut hanya bisa dihidupkan dengan mengajukan tuntutan-tuntutan seperti kesamaan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi (termasuk anak-anak buruh, nelayan, petani, dsb) yang selama ini didominasi lapisan menengah, dan penurunan biaya pendidikan. Idealnya, pendidikan gratis. Dengan kekayaan alam yang melimpah, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh hak berupa fasilitas pendidikan modern dan murah (gratis!). Tuntutan pembebasan biaya pendidikan tidak lain adalah bagian dari perjuangan menciptakan tatanan demokrasi sosial (di dalamnya tercakup demokrasi politik, ekonomi dan kebudayaan).

UU BHP semakin membuat hancur pendidikan di Indonesia, UU BHP yang aslinya adalah Komersialisasi pendidikan di Indonesia tidak hanaya menghancurkan pendidikan tetapi membawa Negara kearah jurang kehancuran. Pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar setiap warga Negara Indonesia yang harus dipenuhi oleh pemerintah, dengan adanya UU BHP maka pemerintah akan melepas tanggungjawabnya membiayai pendidikan padahal telah jelas diatur dalam tata Negara kita atau UUD 1945 bahwa pendidikan adalah tanggung jawab Negara untuk membiayainya yang diambilkan dari APBN atau APBD minimal 20%.

Bukan Privatisasi atau komersialisasi pendidikan yang dibutuhka rakyat, tetapi pendidikan yang GRATIS untuk rakyat. Mari kita serukan kepada pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat.


Oleh : Fahruddin Fitriya

Dari kesadaran ekonomi menuju kesadaran politik

Dari kesadaran ekonomi menuju kesadaran politik

Saat ini gerakan rakyat dalam hal ini kaum pekerja dan kaum buruh muncul akibat kesadaran ekonomi. Gerakan itu muncul ketika muncul permasalahan tentang upah rendah dan hal-hal lain yang hanya ada dalam ruang lingkup buruh dan majikan. Padahal sebenarnya majikan dan para pengusaha itu berlindung dibalik peraturan yang dibuat pemerintah yang jelas substansi dari aturan dan undang-undang itu kurang berpihak terhadap kaum buruh. Dalam UU No 13 tahun 2004 ada yang dinamakan Outsourching yang jelas-jelas ini hanya mengunjungkan kaum borjuasi saja. Untuk itu semua kalangan masyarakat terutama buruh harus lebih aktif untuk melakukan penolakan terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada klas pekerja ini. Selain Outsourching permasalahan upah yang sangat rendah yakni di bawah kebutuhan Hidup Layak juga menjadi permasalahan yang perlu segera diselesaikan. Fenomena yang terjadi saat ini naiknya harga kebutuhan pokok tanpa di ikuti kenaikan upah buruh semakin menambah penderitaan para buruh di negeri ini. Kesejahteraan yang mereka harapkan hanya menjadi mimpi semata ketika pemerintah lebih setia terhadap para kapitalis dan borjuis asing yang hanya mau berinvestasi ketika upah buruh rendah. Ini sangat ironos memang. Pemerintahan SBY JK yang langsung dipilih oleh rakyat tidak bisa mengemban amanah rakyatnya dan cenderung berfikir bagaimana agar investasi bisa masuk ke Negara ini. Padahal keuntungan hasil investasi asing itu hanya bisa di nikmati segelintir orang saja. Kemana aturan main atau rulr of the game sebagai Negara yang demokratis, pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam negara demokrasi yang setengah matang ini peran rakyat sangat di butuhkan sebagai Agent Sosial Control, rakyat adalah sebagai pengawas kinerja pemerintah. Dan ini perlu kita sadari kawan-kawan. Ketika paradigma kita sudah mengerti bahwa ketika hidup dalam Negara demokrasi, konsekuensi logis nya adalah kita juga harus mengerti setiap aktivitas politik pemerintah. Ketika kita (mahasiswa) melakukan Aksi Demo misalnya itu mrupakan salah satu aktivitas politik. Dan itu wajar terjadi di Negara demokrasi seperti di Indonesia meskipun demokrasinya masih setengah matang. Saatnya berjuang bersama, Buruh, mahasiswa, Petani dan kaum miskin kota harus bersama-sama melakukan gerakan meningkatkan kesadaran ekonomi menjadi kesadaran politik.

Adi, ketua komsat UNDIP

Selasa, 23 Desember 2008

Che Guevara

Che Guevara

Masa muda Ernesto “Che” Guevara adalah sebuah petualangan dan penjelajahan. Meskipun dia dibesarkan di keluarga yang berkecukupan di Argentina dan belajar di bidang kedokteran, dia banyak menghabiskan waktunya untuk mengelilingi Amerika Latin.

Pada tahun 1953 terjadi kekacauan politik di Guetemala. Di tahun 1950 seorang komandan militer sayap kiri, Jacobo Arbenz, terpilih sebagai presiden dan memulai untuk melakukan reformasi politik. Dia meliberalkan hukum-hukum perburuhan, menaikkan upah minimum, mengakhiri represi terhadap aktifitas politik, dan memulai sebuah kebijakan reformasi agraria. Amerika Serikat menjadi cemas.

18 Juni 1954, rombongan pasukan tempur yang diangkut pesawat tempur Amerika menyerbu melalui Honduras. Kaum revolusioner di Guetamala meminta kepada Arbenz untuk mempersenjatai rakyat sebagai alat untuk melawan agresi Amerika, namun sang Presiden Guetemala itu menolaknya. Malahan Arbenz menggunakan satuan tempur reguler Guetemala untuk menghadang invasi. Kesuksesan dalam menghadapi invasi Amerika itu tidak mengurangi ketegangan di Guetamala. Setelah kegagalan invasi yang menggunakan serdadu bayaran itu, imperialis AS melirik kubu sayap kanan militer dan mengagitasinya untuk melakukan kup. Pada 21 Juni, pemerintahan Arbenz ambruk dan dia mengundurkan diri dari jabatannya. Kedudukannya digantikan tokoh militer sayap kanan, Kolonel Monzon. Aktivitas-aktivitas politik yang dilakukan Che di Guatemala mendapat perhatian CIA, yang memasukkan dia dalam daftar orang-orang komunis yang berbahaya yang harus segera diringkus. Informasi ini dibocorkan pejabat kedutaan Argentina, yang menawarkan perlindungan untuk Che. Dari kegagalan pemerintahan Arbenz di Guetemala,Che belajar dua hal penting. Dia menyadari imperialis AS adalah musuh terbesar rakyat Amerika Latin dan kaum revolusioner tidak bisa mengandalkan mesin-mesin negara atau pemerintahan kapitalis, meskipun yang progresif seperti di Guatemala. Tragedi Guetemala meyakinkan Che akan kebutuhan solusi revolusioner untuk memecahkan masalah-masalah Amerika Latin. Dia sekarang menyebut dirinya seorang Marxis dan berargumen seharusnya Arbenz mempersenjatai rakyat untuk melawan agresi yang disponsori imperialis AS.

Che meninggalkan revolusi yang gagal itu dan pergi ke Mexico. Di sana dia ketemu revolusioner Kuba yang sedang dalam pelarian, Fidel dan Raul Castro. Mereka berbincang semalaman dan paginya dia memutuskan untuk bergabung dengan Castro dalam ekspedisi revolusioner ke Kuba. “Setelah pengalaman mengelilingi Amerika dan akhir kudeta di Guetemala, yang kesemuanya tidak begitu menarikku untuk bergabung dengan kaum revolusioner melawan tirani”, begitu Che berkata. Besarnya komitmen Che terhadap Internasionalisme sangat jelas didemonstrasikan tahun 1965, ketika dia secara tegas mengundurkan diri dari pemerintahan dan pergi untuk membantu gerakan revolusiner baru secara pribadi, pertama di Kongo dan kemudian di Bolivia. Saat berada di Bolivia tahun 1967, Che ditangkap CIA yang membekingi tentara Bolivia dan membunuhnya di usia 39 tahun. Tapi saat ini namanya dan reputasinya tertanam dengan kuat, dan wajahnya muncul dalam bendera-bendera, plakat, dan muncul sebagai personifikasi revolusi di dunia.

Oleh : Administrator

Guru bangkit ajarkan pendidikan perlawanan

Guru bangkit ajarkan pendidikan perlawanan


Sudah biayanya mahal, mutunya kacau pula. Repot-repot kuliah, sebenarnya kamu cari apa, sih? Pasti cari ijasah! Barangkali muncul jawaban lain-lain, tapi sudah barang tentu “ijasah” yang memaksamu bertahan. Bertahan di bangku kuliah, diomeli dosen, kutak-kutek skripsi, dan ngurus perpanjangan studi. Bagi sebagian besar kita, pendidikan adalah jalan menuju ijasah, prestise, dan kerja. Padahal, pendidikan adalah alat perlawanan! Karena hakikat pendidikan ialah “membebaskan” manusia. Pendidikan harus mengambil posisi kritis terhadap tatanan sosial yang tak berkeadilan. untuk membuktikan bahwa penindasan dan manipulasi kuasa telah merusak hakikat manusia yang bebas dan berkesadaran.

Sudah terlalu lama guru berdiam diri terhadap apa yang dialaminya. Walau UU Guru telah hadir, itu bukan jaminan kebebasan dan kesejahteraan guru. Profesi guru bukan hanya kurang dihargai tapi juga kerapkali dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan politik.

Kini saatnya guru melihat kembali bahwa “mengajar” bukan hanya memindahkan pengetahuan, tapi juga mendidik perlawanan. Wahai guru, jadikan siswa-siswimu orang yang tak hanya menghargai pengetahuan namun juga menghargai pekerjaanmu sebagai guru. Buatlah sistem pembelajaran yang mengenalkan realitas sosial, bukan sekedar melatih tipu-menipu.

Guru masa depan bangsa ini ada dipundakmu. Jangan sampai kau lahirkan murid yang kelak menjadi penjahat kemanusiaan atau koruptor. Sudah lama bangsa ini merindukan guru, yang mampu melahirkan siswa yang memiliki empati, kepedulian, dan tanggung jawab sosial.


Oleh : Fahruddin Fitriya

Hakekat Mahasiswa

Hakekat Mahasiswa

Perkembangan jaman yang makin pesat membuat tuntutan hidup yang semakin tinggi. Ada yang berbicara bahwa inilah tuntutan globalisasi, yang katanya era pembaharuan lebih baik, ternyata menjadi candu tiap orang di seluruh dunia. Tak terkecuali mahasiswa. Kita dihadapkan pada suatu jaman yang harus bisa menghadapi tantangan apa saja. Dari mulai teknologi, ekonomi sampai dengan embel – embel tantangan masa depan. Mahasiswa sebagai pemuda mulai terkikis identitasnya atau lebih ke arah lost identity. Jiwa - jiwa muda tak dapat lagi menopang tugas mahasiswa sebagai anggota masyarakat. Yang banyak kita lihat dengan mata kepala sendiri ialah banyaknya pemuda yang 'memodernisasi' dirinya sendiri. Dalam artian diksi yang salah, di mana yang diperbaharui cuma penampilannya saja. Appeariance, cerminan di mana degradasi moral mulai terbangun di sini. Memperbaharui baju - baju baru yang bermerk, sepatu - sepatu yang mahal sampai gadget yang multifungsi dan multicanggih.

Pada saat mahasiswa dihadapkan pada politik, mereka ternyata mengerti panjang lebar, sampai hal - hal yang detail. Tapi apa? mereka cuma tahu saja, tidak bergerak atau tergerak. Tahapan mahasiswa pada tingkat skeptis memberikan kesan yang sok tahu, sok pintar, sok paham dan lainnya. Mahasiswa akan berbicara seperti itupun pada saat tertentu saja. mungkin di depan dosen, kajur atau orang bodoh sekalipun. ironis memang, sikap kapitallisme dengan sub sikap oportunis mulai tampak. Mengambil kesempatan sebagai jembatan emas mereka. Berkaca dari oportunis kaum muda tadi, saya pribadi merasakan kegelisahan mendalam selama ini. Pemuda yang seharusnya memiliki sifat pemberani, kritis, dan radikal sudah kehilangan giginya. Ompong sudah generasi sekarang. Kita sering lupa pada hakekat mahasiswa, yaitu menjadi pelayan masyarakat yang setia ( minimal teman sendiri ). Dalam beberapa kasus, ditemukan segelintir mahasiswa perguruan tinggi negeri ternama yang tak mampu melunasi uang kuliahnya. Tapi? Di mana teman - teman " seperjuangannya " saat itu? Jikalau memakai jas almamater, membawa buku tebal dan berangkat ke kampus; kita merasa bangga, , hebat, keren dan berbagai perasaan senang lainnya. Apalah gunanya itu semua jika kita membantu teman sendiri saja tak bisa. itu menjadi big question mark bagi kita semua. ada apa dengan kita?


Oleh : Bima


Ikrar kaum muda

Ikrar kaum muda


Indonesia lahir dari rahim perjuangan melawan ketidakadilan. Kalimat pertama Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyatakan, "bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Dari zaman ke zaman kaum muda menyumbang tenaga, pikiran dan jiwa mereka untuk menegakkan cita-cita ini: bebas dari segala bentuk penjajahan, oleh asing pun bangsa sendiri. Saat ini kita semakin jauh dari cita-cita mulia ini. Sistem ekonomi yang dipakai sekarang bertumpu pada rumus sederhana: kekayaan yang satu hanya mungkin didapat dari kesengsaraan yang lain. Kesetaraan dan keadilan yang pernah digariskan para pendiri bangsa sebagai landasan hidup bersama dianggap sebagai nyanyian usang dari masa lalu. Kekayaan alam habis dikuras meninggalkan kehancuran lingkungan yang tidak terbayar. Manusia Indonesia seperti dihantui kutuk sejarah :menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.

Reformasi politik 1998 yang mengganti kediktatoran Soeharto sempat memberi janji bahwa perubahan akan segera datang. Presiden demi presiden berganti, kabinet dibongkar-pasang namun keadaan tidak beranjak membaik. Justru krisis semakin membelit: kemiskinan dan pengangguran merajalela, komunalisme bangkit, kebencian etnik dan agama dikobarkan, di pusat dan daerah orang memperebutkan lembaga negara dan menjadikannya sumber akumulasi kekayaan. Korupsi memporak-poranda tatanan politik, tidak ada lagi adab dan nilai. Indonesia terancam hilang dari pergaulan dunia. Dalam keadaan ini kaum muda kembali terpanggil untuk bangkit. Republik ini berdiri untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Inilah arah dan jalan keluar dari krisis kita sekarang. Dan menjadi tugas sejarah kaum muda untuk mewujudkan-nya.

Di dunia kini bergema slogan kekuasaan lama: sejarah sudah berakhir. Kaum muda Indonesia menolak jalan buntu ini. Zaman ini bukan akhir dari sejarah, tapi awal dari sejarah baru. Saatnya kaum muda dengan visi pembaruan berhimpun dalam pergerakan menghapus penjajahan dan menegakkan negara kesejahteraan. Saatnya kaum muda memimpin..!

Oleh : Fahruddin Fitriya

Imperialis Harus Angkat Kaki Dari Bangasa Ini

Imperialis Harus Angkat Kaki Dari Bangasa Ini

Membaca berita pada tahun 2007 kemarin yang isinya: ExxonMobil sukses meraih keuntungan sebesar 40,3 miliar dollar AS (hampir Rp 400 triliun) pertahun, atau Rp 12 juta perdetiknya, sungguhlah menyesakkan dada. Bagaimana tidak, nilai tersebut jika dikomparasikan dengan pendapatan penduduk anegeri ini, hasilnya adalah ironi: seratus juta lebih penduduk Indonesia berpendapatan di bawah Rp 18 ribu perhari, atau Rp 0,2 perkepala setiap detik nafasnya. Sungguh situasi yang timpang. Lebih menyesakkan lagi saat melihat betapa BBM semakin mahal dan langka di Indonesia. Lebih menyesakkan lagi saat melihat betapa BBM semakin mahal dan langka di Indonesia. Antrian BBM, pemadaman listrik bergilir, industri bangkrut, pengangguran, gelandangan, putus sekolah, semua merupakan situasi keseharian negara ini di mana ExxonMobil menancapkan salah satu kukunya.

Akibat bonanza minyak dan batubara sepanjang 2004-2007, tidak hanya ExxonMobil, seluruh perusahaan pertambangan asing kawannya juga meraih profit milyaran dollar AS secara tetap. Dilaporkan bahwa Chevron juga mendapat profit tinggi tahun 2007, menempel ketat perolehan ExxonMobil. Harus diketahui bahwa Chevron Indonesia adalah KPS penghasil minyak yang terbesar di Indonesia. Karenanya semakin bulat saja tekad Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menyerukan peninjauan ulang (renegosiasi) seluruh kontrak kerjasama dengan seluruh perusahaan pertambangan asing (yang beroperasi di Indonesia). Seperti yang sudah sering kami propagandakan, renegosiasi kontrak dilakukan dengan alasan: 1) Ketahanan energi nasional telah sedemikian rapuh; dan 2) Rakyat telah sedemikian menderita secara ekonomi. Selain muatannya yang mempergunakan bahasa Indonesia, pembuatan ulang kontrak harus juga dilakukan dengan prinsip: 1) Perbesaran kepemilikan nasional dalam saham perusahaan semisal sampai 50%; rakyat Indonesia harus ikut menikmati keuntungan akibat bonanza minyak dan batubara; dan 2) Pemberlakuan larangan ekspor minyak-gas-batubara asal Indonesia sepanjang kebutuhan energi nasional belum tercukupi. Bahwa tanpa pencabutan (atau amandemen) serangkaian paket undang-undang liberalisasi di bidang penanaman modal, jalan keluar tersebut tidak akan mulus dilalui. Jika ExxonMobil dan kawan-kawannya menolak renegoisasi kontrak, silahkan angkat kaki keluar dari Indonesia! Sebagai tamu dari asing kalian harus mengerti etika bertamu. Sudah terlalu banyak jatah kami yang kalian ambil.

Oleh : Rudi

KAUM MUDA OPORTUNIS MUSUH BESAR REVOLUSI

KAUM MUDA OPORTUNIS
MUSUH BESAR REVOLUSI

Oleh ; Fahruddin Fitriya*

Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis.
(Soe Hok Gie)

Lebih baik menderita kekalahan bersama massa daripada bersikap netral.
(Bolshevik)


Revolusi bukan sebuah adegan pesta makan malam. Kalimat itu suka sekali diucapkan Mao. Saat digelar revolusi China, Mao bergerak lincah seperti seekor kijang. Gempuran yang keras dari kaum nasionalis tidak lantas membuatnya tumbang. Mao punya energi spartan seperti Che Guevara yang berparas tampan dan tegas. Keduanya memiliki kesanggupan untuk bertahan, menahan kekalahan sekaligus menyerang dengan cepat. Sama dengan Imam Khomeini yang petuah dan sikap hidupnya terus mendendangkan lagu perlawanan. Hal yang juga dialami oleh Lenin, yang diduga karena terlalu banyak menggunakan otak sampai

pada kematiannya. Orang-orang itu, sepertinya diciptakan dalam “cetakan” yang khusus.

Disebut khusus karena mereka melakukan sesuatu yang sekarang mungkin dianggap tidak masuk akal. Khomeini menjatuhkan kekuasaan syah Reza yang jadi boneka mainan Amerika. Che menumbangkan Batista dengan serangan gerilya yang cekatan dan militan. Sedangkan Lenin menumbangkan kekuasaan Tsar yang tiran dan penindas. Mereka melakukannya, dengan motif dan cita-cita raksasa. Mendirikan negara komunis hingga menetapkan sistem politik Islam. Di tangan Lenin tulisan Marx berbuah gerakan. Di tangan Khomeini ajaran dalam Qur’an menjadi revolusioener. Hingga saat ini mereka adalah? inspirasi banyak kaum pergerakan. Tapi tak selamanya membaca tulisan Marx jadi radikal. Sama halnya tak semua pembaca Qur’an akan menjelma jadi sosok Khomeini. Tulisan maupun seruan Lenin belum tentu membuat orang lantas jadi bernyali. Malahan tak sedikit mereka ketakutan, cemas, dan kuatir. Suatu ketika pada saya, seorang anak muda menelpon dan mengatakan kalau kaos Lenin itu bahaya. Usianya memang masih belia tapi ucapannya mirip lansia

(lanjut usia). Anak muda seperti ini ternyata jumlahnya cukup banyak di negeri ini. Mahkluk jenis ini adalah generasi yang terlalu banyak makan dan kebanyakan nonton acara hantu di televisi. Hingga tempurung kepalanya penuh nasi dan darahnya lebih banyak mengalir? rasa takut!

Dulu mereka mungkin pemberani. Suatu ketika mereka mungkin aktivis yang giat di jalanan bahkan pernah kena sentuhan sel penjara. Bentrok dengan polisi dan tentara bisa jadi menu sehari-hari. Tapi nyali itu bisa di makan usia. Keberanian kerapkali kurang bertahan lama di badan. Semangat perlawanan dan anti kemapanan nyatanya mengenal kata istirahat. Uang dan jabatan pastilah mampu membuat mereka bersimpuh. Nyali berganti dengan watak pengecut. Suara kritis berbelok ke arah kompromi. Dan sikap anti kemapanan berbalik jadi pribadi borjuis yang haus popularitas dan posisi. Sehingga ketika menjadi pengecut, mereka sibuk membela diri. Di sekitar kita, memang ada banyak kaum muda yang tidak betah lapar. Sebagian dari mereka juga agak nyiyir terhadap mimpi revolusi. Bahkan ada pula yang sinis hanya karena rekan-rekan muda yang lain memakai kaos perlawanan.

Mereka kerapkali menyebut diri dengan sosok yang realistis. Pribadi yang seolah-olah tidak memiliki motif raksasa. Sejenis ego yang tak mampu melihat apapun yang berbau mimpi dan imajinasi kecuali dengan semangat merendahkan. Di mata kepala mereka, hidup itu tak perlu mimpi dan omong besar. Tak jarang, spesies yang tak sukar ditemui ini berkumpul dengan sesamanya lantas ramai-ramai saling mengucapkan, meneriakkan, bahkan mengecam anak-anak muda-yang mungkin dianggapnya-seperti seorang bayi.

Yang menakjubkan, mereka bukanlah kawanan penganggur. Ada yang duduk dalam posisi kekuasaan. Opini mereka tentu bermotif melunakkan udara perlawanan. Ada yang duduk sebagai pengusaha. Motifnya yang mungkin adalah mengeruk laba. Tetapi yang mengejutkan, ada anak muda yang duduk sebagai aktivis yang punya pandangan seperti itu. Mereka yang menolak perubahan melalui revolusi dan lebih menyukai metode yang lunak serta jelas-jelas didukung lembaga donor. Mereka semua adalah pengkhianat revolusi yang jauh lebih berbahaya ketimbang barisan serdadu. Dengan kantong yang tebal serta

pengalaman travelling kemana-mana, mereka adalah tanaman yang dibonsai. Mereka besar bukan karena nyali perlawanan tapi karena “loyalitas dan kepatuhan” buta pada kaum cukong pemegang uang.

Inilah jenis utama musuh yang sesungguhnya ditentang oleh Ali Syariati dan Imam Khomeini. Orang-orang pintar omong yang sebenarnya tidak kerja demi rakyat. Rakyat di kalimat mereka, hanyalah himpunan orang-orang yang berkumpul karena perlu untuk di “proyekkan”. Lenin mengecam barisan yang tidak punya dedikasi dan kedisplinan. Karena mereka selalu punya pandangan dengan disiplin ala serdadu. Yang mereka rindukan dan disenangi adalah popularitas. Bahkan tak jarang mereka menginjak sesama anak muda, untuk menduduki tangga popularitas itu. Mulutnya saja ngomong tentang demokrasi padahal kerjaannya melakukan penindasan imajinasi. Mereka kini memenuhi, bukan saja NGO/LSM, melainkan dunia profesi yang bersentuhan dengan kegiatan seperti hukum, medis, hingga pendidikan. Semua lini yang mengarah kepada orang-orang miskin. Andai Che Guevara masih hidup, tentu ia akan menghimpun bergerilya melawan mereka. Mereka seperti barisan

pendukung Batista yang loyal dan juga kaya. Bagaimana anak-anak muda ini bisa radikal, jika gaya hidup serta konsumsi mereka jauh dari apa yang dimakan sehari-hari oleh rakyat miskin. Jika saja Imam Khomeini masih segar tentu anak-anak muda ini yang ia peringatkan pertama kali. Tapi mereka tak mungkin patuh dengan Khomeini, yang terus mendesak untuk aksi ke jalan meski moncong senapan diarahkan ke muka. Kalau Lenin masih tegak pasti kelompok anak-anak muda ini akan dikenakan disiplin untuk pertama kali. Revolusi, yang menuntut sikap tegas, tidak memerlukan mereka yang ragu-ragu apalagi skeptis terhadap mimpi. Revolusi jadi menarik, karena ia energik, imajinatif, dan menolak keragu-raguan.

Mungkin karena itu revolusi muncul hanya dalam slogan. Sebab anak-anak muda pendukungnya berada dalam situasi yang sakit dan cacat. Pertama, mereka tidak suka mimpi perubahan yang radikal dan besar. Uang telah membikin mereka jadi anak muda yang berurusan dengan hal-hal sepele dan sederhana. Uang tidak membuat mereka bergegas membikin karya besar. Kenikmatan mereka diukur dengan badan dan perut

mereka sendiri. Kedua, anak-anak muda ini begitu rakus dan haus popularitas. Lensa kamera yang ukurannya kecil itu dijadikan sasaran untuk menayangkan muka mereka yang letih dan penuh polesan. Ukuran aktivitas bukan sejauh mana dampaknya bagi rakyat melainkan dimuat-tidaknya di media. Ketiga, karena itu mereka meneguhkan diri sebagai kawanan sekuler dan liberal karena mereka berbuat, bertindak, dan bersikap tanpa dasar nilai sama sekali. Mereka tidak beragama, tapi mereka juga bukan atheis atau marxis. Mereka tidak beragama karena memang malas diikat oleh aturan-aturan.

Satu-satunya ikatan di antara mereka hanyalah uang. Selama uang berkibar maka apapun akan dikerjakan. Selama uang bisa memenuhi kantong maka semua akan dilakukan. Karena istilah uang itu agak kasar, maka coba disebut kata logistik untuk menghaluskannya. Bagaimana kita bisa bergerak kalau logistiknya tidak ada? Itulah semburan yang dilontarkan. Sudah pasti mereka tidak tahu, berapa modal yang dipunyai Lenin saat memulai Revolusi Oktober. Mereka pasti tidak ingat bagaimana Marx yang lapar mampu melahirkan karya Das Kapital. Mereka juga tidak


Dan perubahan bukan datang dari konsep-konsep proposal. Revolusi memang dicetak oleh anak-anak muda yang bernyali. Almarhum Romo Mangun selalu bilang, bukan anak muda jika tidak radikal! Sikap radikal adalah karakteristik orang yang disebut muda. Muda, radikal dan karenanya militan. Terhadap uang, sikap anak muda adalah seperti novel Knut Hansum yang berjudul lapar, enggan, malu dan tidak akan meminta. Karena ia tahu, martabatnya tidak diukur dari berapa uang yang dimiliki. Terhadap jabatan apalagi. Persis sikap Einstein yang menolak jadi penguasa karena ilmu fisika jauh lebih asyik ketimbang duduk didampingi pengawal. Tapi terhadap petualangan pelawanan, ia akan mengatakan, ya! dan terjun bergerak. Novel dan film The Old Man and The Sea, karya Ernest Hemingway, menuturkan bagaimana seorang layaknya menyambut petualangan. Inilah sikap anak muda mas Marco Martodikromo hingga Che Guevara. Mereka adalah anak muda yang selalu curiga, dengan kenyataan. Anak muda yang hidupnya dimodali dengan pertanyaan, bukan segebog rupiah atau dollar.


“KIRI”

KIRI”


Ya, yang suka naik angkot pasti akrab betul dengan seruan di atas. Tapi saya tak hendak bicara tentang angkutan publik yang senantiasa carut marut di negara kita tercinta ini. Saya sedang ingin ngobrol tentang kiri yang lain. Mari bicara tentang kiri yang selalu sukses memancing kalut di sebuah negeri bernama Indonesia.

Pertama-tama, kita runut dulu sejarah istilah kiri yang menyeramkan ini. Awalnya terminologi kiri dan kanan digunakan untuk menunjukkan afiliasi politik seseorang di awal era Revolusi Prancis. Asal muasalnya sangat sederhana, cuma soal tempat duduk para anggota legislatif di Prancis pada tahun 1791. Waktu itu, raja masih jadi kepala negara [dalam konteks formal], dan pendukung kerajaan yang konservatif [kaum Feuillants -- jangan suruh saya membaca nama ini!] duduk di sebelah kanan ruang sidang legislatif; sedangkan kelompok radikal (kaum Montagnards) duduk di sebelah kiri ruangan.Aslinya sih, pemisahan ini mencerminkan tingkat keberpihakan masing-masing kelompok pada rezim lama (baca: para aristocrat). Maka kala itu kaum kanan adalah kelompok pendukung para aristokrat dan keluarga kerajaan. Sedangkan kaum kiri diartikan sebagai kelompok yang menjadi oposisi.

Itu dulu. Namun lama kelamaan, pemisahan siapa kiri dan siapa kanan jadi jauh lebih

kompleks. Misalnya nih, waktu revolusi Bolshevik, jelas Stalin dan para pendukungnya masuk di golongan kiri; dan memang, para pendukung komunisme jaman Stalin disebut (dan menyebut diri mereka) the leftists, alias kaum kiri. Tapi, siapa yang bisa disebut kelompok kiri di Rusia kala Stalin berkuasa? Mereka yang mendukung Stalin sejak Bolshevik-kah? Atau para reformis yang sudah mengadopsi beberapa pemikiran yang berasal dari mazhab kanan? Sudah mulai bingung? Semoga belum. Yang jelas, terminologi kiri dan kanan mengalami evolusi seiring perkembangan jaman.

Sederhananya, terminologi kiri biasa diasosiasikan dengan kelompok progresif (di Amerika Serikat, kelompok kiri kerap juga diartikan sebagai kelompok Liberal); sedangkan terminologi kanan diasosiasikan dengan kaum konservatif yang setia pada paham-paham lama.

Di Indonesia, kiri acap kali diartikan secara sempit sebagai PKI/Komunis/Sosialis -- tanpa mengenali sejarah maupun pemaknaan kata-kata tersebut secara benar. Ya, tidak heran kalau ujungnya jadi salah kaprah tiada tara. Ada baiknya kita mencoba menggali lagi, arti dari tiap-tiap kata yang berseliweran di sekeliling kita, daripada lantas mendekam dalam kebingungan abadi gara-gara indoktrinasi rezim yang gemar berdusta.

Tapi semua kembali pada pilihan masing-masing orang: Apakah hendak menggali tiap kata dan memaknainya dengan merunut sejarah kata itu? Atau masih betah terlelap dalam dusta dan pemaknaan absurd karangan para tukang bohong? Terserah, sih. Yang penting anda menentukan pilihan itu secara sadar, dan siap dengan segala konsekuensinya.

Oleh : Fahruddin Fitriya


Lawan atau Miskin

Lawan atau Miskin

Oleh : Fahruddin Fitriya


Indonesia yang terkenal dengan kekayaan sumberdaya alamnya kini tampak murung. Kemiskinan, kesedihan, dan kematian tak sulit lagi di dapati di negeri ini. Meskipun Indonesia hari ini tidak mengalami peristiwa yang persis saat terjadi pertempuran antara revolusi dan kontra-revolusi, tetapi korban akan terus berjatuhan karena semakin melambungnya harga-harga bahan pokok, Hidup semakin susah dan nasi tidak lagi bisa terbeli. Akhirnya kematian terpaksa menjadi jalan terakhir untuk membebaskan diri dari penatnya kehidupan. Seperti baru-baru ini di Tegal Jawa tengah seorang ayah meminum racun serangga bersama anak-anaknya untuk mengakhiri hidup dan lagi seorang ibu yang tengah hamil tua di Makassar, tubuh perempuan itu meregang, pucat, kaku, dan mati. Suaminya memeluknya dan seolah ingin menahannya jangan pergi. Dan kini, ia tidak lagi menyaksikan anak-anaknya duduk berjejer menunggu sarapan tiba dengan mulut yang berharap. Itupun tak berhenti di Makasar dan Tegal.

rakyat miskin bingung mencari nasi, orang-orang kaya tetap bisa mengunjungi restoran, memesan makanan yang paling enak, tidur di hotel mewah, menikmati taman bunga, berbincang-bincang tentang keindahan, merencanakan masa depan, dan menumpuk harta untuk tujuh turunan. Disaat yang sama, para penyelenggara negara bingung bagaimana membuat dan menghabiskan anggaran. Demikian juga dengan para politikus, ribut soal kekuasaan, dan tiba-tiba tampil di depan publik sebagai guru moral. Pantaslah jika kita menyebut negeri ini sebagai negeri maling yang diselenggarakan oleh para badut. Tampaknya cocok jika mengundang Jemek Supardi, seorang seniman pantomim asal Jogja, untuk mengisi acara di istana presiden dan di gedung DPR, agar mereka tahu bahwa mereka hanyalah badut-badut politik yang berjubahkan kearifan.

Ini cukup memprihatinkan. Ini pertanda telah matinya moralitas. Moralitas dipandang hanya sebagai instrumen. Ia akan muncul jika produktif untuk sebuah kepentingan, dan sebaliknya, dibuang jika ia cukup mengganggu jalannya sebuah kepentingan tersebut. Dan jika hal tersebut terjadi, yakni moralitas hanya sebagai instrumen belaka, maka solidaritas sosial akan mundur, dan kehidupan terasa semakin murung.

Emile Durkheim mejelaskan tentang mundurnya solidaritas sosial mekanis, yang telah menjadi ciri khas suatu masyarakat, karena dampak dari modernitas. Kapitalisme yang paling bertanggungjawab atas lahirnya masyarakat modern yang rapuh dan hilangnya solidaritas sosial mekanis itu. Masyarakat modern, sebagai simbol kemajuan suatu peradaban

ternyata bertumpu pada ratap tangis rakyat miskin, Pembangunan yang melampaui batas merupakan hasil dari penghisapan yang melampaui batas pula. Kekayaan alam suatu negeri yang seharusnya bisa dinikmati bersama telah dirampas oleh suatu gerombolan. Gerombolan tersebut adalah persekutuan antara penguasa dan pemilik modal besar. Dampaknya cukup mencengangkan: kemiskinan, kelaparan, dan kematian. Dibalik gedung-gedung megah di Jakarta, terdapat kampung-kampung kumuh yang sangat menyedihkan; dibalik kafe-kafe elit, restoran-restoran mewah, terlihat anak-anak jalanan menjalani hidupnya sebagai pengamen dan pengemis; dan dibawah terangnya lampu-lampu kota, kita bisa melihat puluhan buruh bangunan berjongkok di terotoar, menunggu nasib, hingga larut malam.

dasar moralitas baru adalah penting guna membangun kehidupan sebagaimana mestinya. Moralitas baru yang terbebas dari hegemoni kapitalisme. Moralitas baru itu adalah ”kesadaran kelas”, suatu kesadaran politik untuk menghancurkan kapitalisme, merebut kekuasaan, melakukan reorganisasi ekonomi -- baik mengenai kepemilikan maupun sistem produksi. Moralitas baru yang melahirkan kepemimpinan revolusioner, partai revolusioner, basis massa yang solid dan militan, yang akan menuntaskan permasalahan bangsa dengan mendekonstruksi organisasi dan moral kapitalistik.


Mahasiswa, Politik, dan Partai Politik

Mahasiswa, Politik, dan Partai Politik


Mahasiswa Berpolitik ?

Sebenarnya, kegiatan berpolitik mahasiswa, terbelenggu oleh pikiran mahasiswa itu sendiri yang masih menganggap bahwa “khittah” gerakan mahasiswa adalah gerakan moral dan sebatas agen perubahan masyarakat saja. Politik masih dianggap satu hal yang kotor. Persis seperti anggapan mahasiswa angkatan 66 yang menganggap politik bagai lumpur yang kotor ( istilah Soe Hok Gie, tokoh gerakan mahasiswa angkatan 66 ). Padahal, apa yang mereka lakukan selama ini sebagai bentuk kepedulian mereka misalnya seperti demo menolak impor beras, menolak naiknya harga bahan bakar minyak adalah satu kegiatan berpolitik. Politik berasal dari asal kata “policy” yang artinya kebijakan. Bukankah dengan kegiatan mereka tadi mereka berusaha mempengaruhi “policy” pemerintah alias berpolitik ?. Hanya saja menurut penulis, cara berpolitik mereka tidaklah profesional bahkan cenderung sia-sia. Memposisikan diri sebagai pengawas sosial dari pemerintah dan membatasi diri sekedar sebagai gerakan moral dan gerakan agen perubahan sosial sama saja dengan berteriak di tengah samudra dimana tak seorangpun dapat mendengar. Sebaiknya, Kelompok-kelompok mahasiswa yang masih alergi dengan politik dan partai politik membuang jauh-jauh penyakit alerginya dan dengan sadar dapat merebut kekuasaan demi terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh lebih baik lagi. Tentunya dengan jalan berpolitik melalui partai politik.Orang boleh bilang bahwa mahasiswa yang berpartai politik adalah sekedar ingin memperbaiki nasib pribadi dengan menyembunyikan kepentingannya dibalik kepentingan rakyat miskin. Namun, maafkanlah jika itu tidak benar.Kami menyadari betul bahwa alat perjuangan yang paling cocok dengan iklim demokrasi dan kehidupan modern ini adalah partai politik.Tidak hanya perkara merebut kekuasaan atau membuat kebijakan saja, namun juga perkara memberikan edukasi politik kepada massa mahasiswa dan massa rakyat sehingga tumbuh kesadaran berpoltiknya. Kesadaran politik massa adalah senjata paling efektif untuk menjaga kekuasaan agar tidak disalahgunakan. Salah satu kelebihan daripada mahasiswa berpolitik melalui partai politik adalah mahasiswa justru terbebas dari tunggangan beberapa elit partai-partai besar karena toh setiap partai nantinya harus bertarung dipemilu dan setiap partai memiliki program dan strategi-taktiknya masing-masing. Jadi selamat jalan elit-elit partai besar, kami sudah ( atau akan ) miliki partai kami sendiri.

Oleh : Administrator

May Day, Bukan Saja Momentum Bagi Kaum Buruh

May Day,

Bukan Saja Momentum Bagi Kaum Buruh

Bagi kaum buruh 1 Mei merupakan hari yang ditunggu-tunggu, karena pada 1 Mei kaum buruh sedunia memperingati Hari Buruh Internasional. Pada hari itu tidak asing bila ditemukan pemandangan berupa aksi-aksi masa, unjuk rasa ataupun demonstrasi di pusat pemerintahan kota maupun di pabrik-pabrik. Bagi kebanyakan orang yang kurang menghargai demokrasi aksi unjuk rasa seakan-akan merupakan hal yang tabu. Tetapi perlu juga kita lihat apakah selama ini buruh atau pekerja di Indonesia sudah mendapatkan apa yang dinamakan upah layak? Ketika melakukan unjuk rasa dengan gelombang aksi masa yang besar para buruh akan bisa meneriakkan ketertindasanya selama ini yang dilakukan oleh para pengusaha yang pro kapitalis.supaya kita yang berada di “puncak gunung” pun tahu. Bahkan tidak hanya para pengusaha saja yang menindas kaum buruh. Wakil rakyat di DPR pun melakukan itu, terbukti dengan dikeluarkannya produk hukum berupa UU No.13 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan, yang jelas-jelas kurang berpihak pada kepentingan buruh. Masih adanya Outsourching, PHK sepihak ini merupakan salah satu bukti bahwa pemerintah tidak perhatian terhadap nasip para pekerja. Adanya Upah Minimum Kota (UMK) yang mestinya tujuannnya adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi kaum buruh saat ini pun belum sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Balum lagi kondisi social ekonomi saat ini dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok.

Kita coba lihat sejarah kebangkitan gerakan buruh, Ketika selama berabad-abad kaum pekerja ini bekerja siang malam, sampai-sampai lebih dari 12 jam sehari, tanpa mendapatkan imbalan yang sepadan, sehingga bangkit kesadaran, menuntut keadilan. Pada tahap pertama perlawanan mereka dalam bentuk menjadikan perkakas produksi, mesin sebagai sasaran perusakan. Kemudian kesadaran menuntut keadilan dan berlawan itu terus tumbuh, dan pada akhirnya mereka menyedari bahwa nasib buruk yang menimpa mereka bukanlah alat-alat dan perkakas produksi, melainkan majikan, penguasa atau pemilik alat dan perkakas produksi itu.

Kaum borjuis telah menguras tenaga kaum pekerja dan mengisap dengan nyaman hasil kerjanya dalam bentuk nilai lebih. Oleh karena itu kaum pekerja menjadi sadar bahwa kepada majikan itulah perlawanan harus ditujukan. Yang dimaksud dengan perlawanan di sini adalah memperjuangkan hak-haknya dan keadilan dalam soal syarat-syarat kerja dan upah yang layak dari majikan. Mereka menuntut upah yang adil, kenaikan upah sesuai dengan tenaga dan waktu yang telah dipakai untuk berproduksi, syarat kerja yang baik, penurunan jam kerja, ruang kerja yang sehat, jaminan keamanan kerja, jaminan kesehatan dan pengobatan, jangka waktu libur untuk perempuan hamil menjelang dan sesudah bersalin, dan lain-lain.

Kondisi diatas diperparah lagi dengan realita saat ini, di negeri ini. Ketika sebagian besar perusahaan yang ada adalah milik pengusaha asing yang sama sekali tidak pernah berfikir tentang kesejahteraan buruh, yang lebih senang berinvestasi ketika upah buruh di suatu tempat tergolong rendah. Kini sudah saatnya para borjuasi-borjuasi asing itu ditendang jauh-jauh dari negeri ini terutama perusahaan-perusahaan di sector petambangan seperti Exxon dan Freeport yang jelas-jelas menambah sengsara rakyat. Di papua lima bahasa daerah papua telah hilang selama Freeport beroperasi disana. Ternyata kehadiran perusahaan asing tidak hanya menyerang ekonomi bangsa ini saja namun secara budaya juga telah mencederai budaya bangsa ini.

Sekarang sudah tidak ada alasan lagi bagi pemerintahan SBY-JK untuk tidak menasionalisasikan industri tambang. Karena inilah salah satu sumber penyakit yang harus diobati untuk saat ini. Nasionalisasi Industri Pertambangan adalah sebuah jawaban untuk bangkit dari keterpurukan yang selama ini dialami. Sekarang tidak hanya buruh saja yang harus meneriakkan Nasionalisasi Industri pertambangan, tetapi semua sector rakyat termasuk mahasiswa juga harus mulai bergabung dalam gerakan ini. Mahasiswa jangan sampai tidak mengerti bahkan tidak mau tahu itu, jika seperti itu berarti sudah kondisi yang sangat parah. Karena tugas mahasiswa selain belajar mahasiswa juga sebagai Agent Sosial Control dan agen Perubahan ( Of Change). Ketika mahasiswa berbicara masalah buruh hari ini, mahasiswa bicara masalah kerakyatan itulah menu mahasiswa sehari-hari, disamping harus belajar di kampus. Kalau saat ini belum terwujud suasana seperti itu, ayo bareng-bareng kita wujudkan.

Rahmat Sutopo

Ketua LMND kota Semarang


MELAWAN ATAU MISKIN…!!!

MELAWAN ATAU MISKIN…!!!

Reformasi bukan akhir dari perjuangan, reformasi sebenarnya hanya suatu awal dari perjalanan kita, awal dari perjuangan kita untuk melawan segala bentuk penindasan. Harapan reformasi adalaah untuk berhenti dari bangsa kuli menjadi bangsa yang mandiri, mandiri dalam segala hal tanpa kecuali!!! Sumber daya di negeri ini adalah milik kita dan anak cucu kita nantinya, bukan milik orang amerika dan bangsa kapitaliis-kapitalis dunia lainnya. Masihkah kawan-kawan teringat oleh firman allah yang kurang lebih artinya “ lebih baik memberi kail dari pada memberi ikannya”, kalau kita seorang yang terpelajar apalagi seorang mahasiwa sudah tentu kita paham dan mengerti apa yang tersirat pada firman tersebut, tapi nyatanya apa yang di lakukan oleh penguasa di negeri ini sangatlah jauh dari apa yang diharapkan oleh firman tersebut, misalnya BLT, Subsidi, korporasi pemerintah dengan pihak pertambangan asing dan lain sebagainya.
Yang akan dibahas disini bukan soal BLT, Subsidi dan banyak lagi kegoblokan penguasa negeri ini. Saya hanya ingin mengingatkan kawan-kawan bahwasanya kita itu memiliki kail terbaik di muka bumi ini, bagaimana tidak!!! Kita punya cadangan minyak yang melimpah, kita punya banyak kandungan batu mulia dari emas, perak, perunggu dsb, dan banyak lagi kekayaan-kekayan negeri ini,tapi apa yang terjadi??? Kenapa harus ada Exxon, caltek oil, Freeport, newmont, dan banyak lagi tambang-tambang asing lainnaya. Kenapa mereka masih bercokol dinegeri ini???
Mereka itu tak jauh beda dengan segerombolan perampok rakus yang menghisap habis-habisan kekayaan yang ada di negeri ini. Ironisnya kita yang seharusnya menikmati kekayaan tersebut malah di jadikan kuli, tapi sampai kapan kita berhenti menjadi bangsa kuli di negeri sendiri??? Ingat, Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum itu mau dan berusaha merubah dirinya sendiri???

Oleh : Fahruddin Fitriya

Nasionalisasi Insustri tambang adalah Sebuah Alternatif

Nasionalisasi Insustri tambang adalah Sebuah Alternatif

Keberadaan perusahaan asing yang mengelola hasil tambang di negri ini tampaknya semakin aman karena kebijakan-kebijakan pemerintah yang seakan-akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk meng-eksplorasi kekayaan alam kita sampai habis. Seperti freeport misalnya, dari jaman orde baru sampai sekarang bebas mengeksplorasi emas disana, kalo dihitung-hitung bisa digunakan untuk membangun sebuah kota. Dan membuat biaya pendidikan dan kesehatan gratis. Selain Freeport masih banyak perusahaan asing yang menancapkan kukunya di belantara nusantara ini. Misalnya Exxon Mobil yang jaraknya paling dekat dengan kita, Selama bertahun-tahun Exxon bisa mendapatkan keuntungan besar dari apa yang dimiliki bangsa ini. Padahal rakyat Indonesia masih banyak yang miskin. Inilah yang sebenarnya perlu difikirkan oleh pemerintah. Pendapatan Exxon sendiri 12 juta dollar per detik bisa dibayangkan kalo dana sebanyak itu bisa dikelola oleh pemerintah kita, Tentunya kita sekolah bahkan kuliah ga perlu mengeluarkan banyak biaya. Masyarakat pun bisa lebih terjamin kesejahteraannya. Bagaimana hubungannya Nasionalisasi Industri bisa sampai dengan biaya pendidikan yang gratis dan berkualitas? Ikuti diskusinya aja.


“Nasionalisasi Industri Pertambangan Asing untuk Pendidikan Gratis dan Berkualitas”

Nasionalisasi Industri Pertambangan Asing untuk Pendidikan Gratis dan Berkualitas”


Tidak ada seorang Indonesia pun (juga) yang menyangkal, bahwa sejatinya Negeri Indonesia kaya akan tambang: minyak, gas, batubara, dan galian mineral lainnya.


Setiap hari ratusan ribu barrel minyak dan jutaan kubik kaki gas ‘terbang’ ke luar negeri, bersamaan dengannya juga: batubara, emas, tembaga, pasir besi, dan timah. Berbagai perjanjian kerjasama pertambangan, seperti kontrak karya (KK) untuk galian mineral dan kontraktor production sharing (KPS) untuk migas, hanya menguntungkan korporasi-korporasi luar negeri, semacam: ExxonMobil, Chevron, ConocoPhilips, Total, British Petroleum, PetroChina, Shell, CNOOC, Freeport, Newmont, BHP Biliton, Inco, dan lain lain selama berpuluh tahun.

Rakyat Indonesia sendiri selama ini tidak mendapatkan keuntungan dari kayanya negeri mereka akan bahan tambang. Keuntungan milyaran dollar hanya mengalir ke korporasi-korporasi pertambangan yang sudah sangat kaya raya. Puluhan juta rakyat kita yang miskin hanya mendapati minyak tanah semakin langka dan mahal; bensin-solar mahal; industri bangkrut (de-industrialisasi) di mana-mana; PLN kekurangan persediaan batubara dan gas; lahan-hutan yang rusak berikut kekerasan (pelanggaran HAM) yang biasa terjadi di lokasi pertambangan.

Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa kekayaan yang terkandung di dalam bumi Indonesia harus dipergunakan sepenuh-penuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Mukadimah UUD 1945 juga menyatakan bahwa cita-cita bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Karenanya sudah sangat jelas bahwa kekayaan alam Indonesia harus menjadi modal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau dengan kata lain: seluruh kekayaan tambang Indonesia harus diabdikan sepenuhnya (baca: dinasionalisasi) untuk memberikan pendidikan yang gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat.


Pendidikan Adalah Hak Tiap Warga Negara

Pendidikan Adalah Hak Tiap Warga Negara


Menyoroti berbagai persoalan tentang sistem pendidikan belakangan ini, kita akan justru dengan terpaksa harus mengupas sebuah isu, yaitu otonomi sekolah dan otonomi kampus. Kedua hal ini sebenarnya adalah jalan keluar yang ditawarkan pemerintah untuk menghadapi kurangnya dana yang tersedia untuk penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakat. Selintas, kebijakan ini justru lebih berlaku untuk sekolah-sekolah dan kampus-kampus negeri yang memang dibiayai pemerintah. Namun, jika kita menelusuri secara historis dan lebih detail, maka akan terlihat bahwa kebijakan yang dicanangkan pemerintah dengan apa yang dinamakan Otonomi Pendidikan ternyata akan berpengaruh kepada keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia.

Pendidikan yang mahal, kurikulum yang tidak mencerdaskan, situasi sekolah maupun kampus yang tidak demokratis (terutama pembrangusan hak-hak mahasiswa di kampus), maupun fasilitas yang ala kadarnya adalah fenomena sehari-hari yang tergambar dari system pendidikan nasional Indonesia. Ketika bicara tentang pendidikan tentunya tidak lepas dari tingkat kualitas, persoalan biaya, regulasi-regulasi, anggaran yang semuanya itu adalah menjadi tanggung jawab Negara. Perkembangan masyarakat hari ini semakin terilusi oleh praktek kapitalisasi dan komersiliasi pendidikan sehinga muncul perspektif bawa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang mahal, itulah pola piker kita yang perlu dirubah.

Padahal dalam pembukaan UUD Negara RI tepatnya alinea keempat tentang tujuan nasional telah jelas disebutkan “ Negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya”. Kalau alas an pemerintah adalah tidak adanya anggaran dari APBN berarti sudah saatnya pemerintahan SBY ini mengambil keputusan untuk Me Nasionalisasikan Industri Pertambangan untuk Pendidikan Gratis dan Berkualitas dari pada harus menjadikan dunia pendidikan sebagai ladang garapan para borjuis dan kapitalis.

Dalam peringatan hari pendidikan nasional tahun ini hendaknya semua pemimpin di negri ini mau mengubah paradigmanya dan lebih konsekuen ketika konstitusi mengamanahkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab Negara.

Luqman Hakim, Ketua LMND Komisariat Unnes


Biaya pendidikan masih mahalBiaya Pendidikan Masih Mahal

Biaya pendidikan masih mahalBiaya Pendidikan Masih Mahal



Undang-undang dasar memang telah mengamanatkan bahwa 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) harus dialokasikan untuk biaya pendidikan. Sejumlah daerah seperti Provinsi Jawa Tengah juga sudah menganggarkan biaya pendidikan yang cukup besar.

Bahkan untuk tahun 2006, 20 persen lebih dari total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Jawa Tengah yang berjumlah Rp (Cari Data) triliun diperuntukkan bagi pendidikan. Membaca angka-angka di atas tentu kita sangat gembira dan sangat optimistis bahwa pendidikan generasi muda kita akan lebih baik dibandingkan dengan waktu lalu. Namun, faktanya ternyata tidak seoptimistis seperti yang digambarkan oleh angka-angka tersebut.

Selain pemerintah pusat belum mampu mengalokasikan dana seperti yang diperintahkan oleh undang-undang, dana pendidikan yang sudah dikucurkan pun, termasuk oleh Pemda, seringkali tidak mengenai sasaran. Ini belum termasuk sekolah-sekolah yang berada di sejumlah daerah yang APBD-nya memang sangat kecil.

Coba saja lihat di lapangan. Sejumlah SMP dan SMA, terutama yang unggulan, masih memungut dari orang tua murid dana yang cukup besar, khususnya yang terkait dengan uang masuk (pembangunan). Di Semarang, misalnya, meskipun dengan dalih bahwa besaran uang masuk itu sudah disepakati oleh orang tua murid lewat Komite Sekolah, namun kesan ‘pemaksaan’ tetap saja terasa. Intinya, orang tua murid harus membayar sekian juta bila anaknya ingin diterima di sekolah unggulan tersebut.

Besarannya variatif, antara Rp 3 juta hingga Rp 10 juta. Bila tidak, silakan pindah di sekolah lain. Padahal, para murid yang nilainya memenuhi syarat diterima di sekolah unggulan tidak semua orang tuanya mampu secara Finansial. Besaran dana ini baru sebagai uang masuk dan belum uang bulanan dan lainnya yang jumlahnya bisa mencapai Rp 250 ribu/per bulan. Ini baru di tingkat SMP serta SMA. Bagaimana dengan di perguruan tinggi?

Bagi yang bernasib baik diterima di perguruan tinggi negeri, mungkin lebih beruntung. Beruntung karena uang masuk (gedung) akan lebih murah daripada di perguruan tinggi swasta, terutama yang terkenal (unggulan). Namun, murah di sini bukan berarti ratusan ribu rupiah, tapi puluhan juta. Yang terakhir ini tentu lebih murah dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta. Konon, untuk fakultas unggulan seperti kedokteran, ada universitas yang mengenakan uang masuk sebesar lebih dari Rp 100 juta.

Bila fakta lapangan ini benar adanya, maka alangkah malang nasib orang-orang ‘kecil’ dan miskin yang jumlahnya sangat besar di negeri ini. Anak boleh pintar, tapi kalau orang tuanya tidak mempunyai biaya maka tetap saja ia tidak bisa masuk perguruan tinggi. Ini berbeda dengan nasib anak-anak yang orang tua mereka mampu secara finansial. Kalau mereka pintar, tinggal pilih perguruan tinggi yang diingini, termasuk universitas di luar negeri. Bahkan, seandainya pun anak tidak pintar, mereka pun masih bisa kuliah karena orang tuanya mampu ‘membeli’ bangku sekolah/kuliah.

Memang, ada sekolah-sekolah atau universitas swasta yang murah. Namun, sekolah atau universitas seperti ini biasanya mutunya sangat tidak memadai. Bahkan, murid-murid atau mahasiswa-mahasiswinya merupakan ‘sisa-sisa’ dari mereka yang tidak diterima di sekolah atau universitas negeri. Sehingga, kualitas lulusannya pun sangat rendah. Karena itu, kalau Dunia pendidikan, termasuk masalah pendanaannya, ini tidak segera dibenahi, kita khawatir struktur Negara di negeri ini akan terus menguntungkan orang-orang kaya saja. Anak orang kaya akan terus kaya, sedangkan anak orang miskin akan tetap miskin. Padahal, bukankah setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan?

Oleh : Fahruddin Fitriya



PEREMPUAN DAN POLITIK

PEREMPUAN DAN POLITIK

Perempuan dan politik adalah wacana yang menarik diperbicangkan bahkan, menjadi suatu yang politis untuk di perdebatkan. Hal ini disebabkan oleh fakta, ketika politik ditempatkan di wilayah publik, definisi, konsep, dan nilai-nilai yang dikandungnya selalu menempatkan perempuan di luar area tersebut. Politik didefinisikan sebagai sesuatu yang negative (politiking), afiliasi suatu partai politik, dan dihubungkan hanya dengan mereka yang berkuasa, dimana laki-laki mendominasinya. Bahkan, ketika politik didefinisikan dengan perspektif baru sebagai; pembuatan keputusan yang transparan, kemampuan bernegosiasi, partisipasi dengan cakupan basis yang luas, keterbukaan terhadap perubahan, distribusi sumberdaya (kekuasaaan) yang adil dan ekonomi yang produktif, dikotomi antara dunia perempuan dan dunia politik tetap berlangsung. konflik seputar hak-hak perempuan dan hak asasi manusia, merupakan kelanjutan dari perseteruan lama yang dimulai sejak munculnya sistem penghambaan terhadap laki-laki atau sistem patriarki. Oleh karenanya, wacana tentang perempuan dan politik mestinya diletakkan dalam konteks penghormatan terhadap martabat kemanusian kaum perempuan Hingga kini, perkembangan wacana perempuan dan politik masih terjebak dalam perdebatan tentang partisipasi dan representasi, yang mengarah pada indikator normatif kuantatif. Kuota 30 persen untuk reprensentasi politik perempuan, adalah salah satu indikator tersebut. Sebagai afirmative action (tindakan khusus), kuota memang tak boleh melupakan kualitas dari representasi tersebut. Tetapi harus disadari sungguh-sungguh, tuntutan kuota bersumber dari realitas sejarah panjang pendiskriminasian terhadap perempuan, melalui proses yang sistemik yang tidak akan berakhir hanya dengan "menunggu waktu bergulir" tanpa tindakankhusus.

Paradigma bahwa politik hanya milik kalangan pemegang kekuasaan formal (dan milik laki-laki), yang mengakibatkan terjadinya proses peminggiran terhadap rakyat dan terhadap perempuan, harus segera diubah. Karena persepsi ini membuat rakyat (apalagi perempuan) merasa tidak layak dan tidak mempunyai kemampuan untuk ikut melakukan perubahan dalam proses-proses politik. Dari sinilah kita berangkat membicarakan soal partisipasi dan representasi politik perempuan.

Catatan kritisnya, sebagaimana kalangan pejuang demokrasi gelisah tentang representasi politik rakyat yang masih merupakan representasi semu, kita juga harus gelisah karena dinamika politik belum mewujudkan representasi politik perempuan, melainkan sebatas representasi jenis kelamin.

Rakyat miskin dilarang pintar 2

Rakyat miskin dilarang pintar 2


Rakyat Indonesia, bagaikan seekor ayam yang mati di lumbung padi” bagaimana tidak, dari sembako, BBM, Listrik dan semua kebutuhan hidup sekian hari sekian mahal, tidak dapat disangkal lagi semua itu sangatlah sulit untuk dijangkau rakyat miskin yang kurang mampu di bangsa ini. Ironis memang, ketika pendidikan tak mau lagi bersahabat dengan kita, liarnya SPL dan mahalnya biaya kuliah di kampus yang pernah mendapat predikat “Kampusnya wong cilik” sudah cukup untuk membuat orang tua yang kebetulan buah hatinya ingin pintar mulai menjerit, mereka sampai kerja ekstra keras banting tulang (tak ada lagi daging untuk dibanting), peras keringat bahkan darah demi putra-putri tercintanya.

Padahal kalau kita sadari dan mau itung itungan satu tambang milik asing yang ada di negeri tercinta Indonesia yang selama ini menguras habis habisan sumber daya alam kita, ambil contoh Exxon mobil oil (USA) dengan keuntungan sekian trilyun itu dapat menggeratiskan biaya kuliah mahasiswa seluruh Indonesia. Itu hanya Exxon mobil oil, belum lagi perusahaan Migas lain seperti British petroleum (Inggris raya), Shell (Belanda), Cevron Texaco Caltex (USA), dll. Katakanlah itu hanya perusahaan tambang Migas, belum lagi disektor industri ekstraktif enam TNCs yaitu; Rio tinto Ltd, Newmont mining corporation, Newcrast minig Ltd, Inco Ltd, Freeport MC moran copper dan Gold Inc. melalui anak perusahaan dan afiliasinya yang berbasis di Australia, singapura, USA dan kanada menguasai dan mengendalikan hampir seluruh sektor pertambangan baik itu Emas, perak, nikel, tembaga, batu bara dll, apa itu semua belum cukup? Masih pantaskah orang tua kita menjerit? Sekian banyak deretan sektor-sektor industri yang bila penguasaannya disentralisir oleh Negara kemudian hasilnya untuk kesejahteraan rakyat yang akhirnya mampu menuntun Indonesia kearah Negara yang lebih baik serta maju.

Sebenarnya bangsa kita mampu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera, segala akses yang dibutuhkan rakyat dapat terpenuhi seperti; mendapatkan pelayanan pendidikan gratis dan pelayanan kesehatan gratis. Itu semua tidak mustahil dengan adanya keberanian pemerintah untuk menasionalisasikan semua industri pertambangan yang telah dikuasai oleh pemodal asing. Dengan begitu orang tua kita tidak lagi susah-susah banting tulang dan sebagainya untuk mendanai biaya pendidikan buah hatinya di bangku sekolah maupun bangku perkuliahan. Berarti tidak ada lagi istilah “Rakyat miskin dilarang pintar”, “Rakyat miskin dilarang sakit”, apalagi pepatah sang maestro “Bagai ayam yang mati di lumbung padi”. FF.

* Oleh; Fahruddin Fitriya


Politik Lingkungan Hidup di Indonesia

Politik Lingkungan Hidup di Indonesia

Masalah-masalah lingkungan hidup selalu diidentifikasi sebagai low politics dalam terminologi ilmu politik. Ia tak terlalu penting, padahal kelangsungan nasib 6 milyar manusia penghuni bumi sungguh bergantung padanya.

MASALAH lingkungan hidup bukan cuma soal pembuangan limbah yang seenaknya, kebakaran hutan, atau terus bertambahnya daftar spesies-spesies langka yang musnah. Sebagai sebuah isu sosial, lingkungan hidup mulai ramai dan santer diperbincangkan sekitar tahun 1960-an di Barat. Di bawah bayang-bayang kian memanasnya Perang Dingin menyusul perlombaan senjata pemusnah massal. Sejarah kepedulian dalam mengelola lingkungan hidup dimulai sewaktu di Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Otto Soemarwoto menggelar Seminar Nasional Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Mei 1972. Sebulan kemudian Indonesia mengirim delegasi ke Konferensi Stockholm. Sepulang delegasi dari Stockholm, Pemerintah membentuk Panitia Negara Lingkungan Hidup dan akhirnya dalam Kabinet Pembangunan III Prof. Emil Salim ditugaskan sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH). Namun, sama halnya dengan apa yang terjadi di lingkungan internasional, lingkungan pun bukan isu primadona dalam dunia perpolitikan Indonesia. Sekali-sekali, kita dikejutkan oleh berita-berita yang menyangkut nama-nama besar seperti Habibie atau Bob Hasan dalam permainan politik lingkungan, tapi lingkungan tetap jadi isu marjinal di negara ini. Kita semua tentunya masih ingat saat hutan di Kalimantan dan Sumatera terbakar pada akhir tahun 1997. Elit politik dan bisnis di Jakarta saling tuding menuding dan tak mau disalahkan. Kaitan isu lingkungan dan politik di level lokal di Indonesia lebih dahsyat lagi. Sejak awal Indonesia berdiri, sumber daya alam sudah dibebat rapat-rapat oleh negara dan dijadikan miliknya. Dengan demikian hak suku asli atas sumber daya alam otomatis hilang karena adanya penguasaan negara. Ketika potensi lingkungan disadari bermanfaat sebagai sumber daya ekonomi, maka hak-hak suku asli dirampas oleh negara atas nama kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya untuk melapangkan jalan bagi eksploitasi sumber daya alam. Lingkungan yang jadi tempat hidup berjuta spesies bukan milik siapa-siapa. Tapi manusia besikeras memiliki dan merusaknya. Ketika kita nonton Discovery Channel atau Dunia Dalam Berita pernahkah terbayang bagi kita bahwa apa yang mereka tampilkan itu sebenarnya sama saja? Kedua merupakan belantara perebutan kekuasaan yang tak kenal batas.


Reformasi Yang Mati Suri

Reformasi Yang Mati Suri

Oleh : Rahmat Sutopo

Adalah tanggungjawab sejarah generasi muda, khususnya mahasiswa, untuk terus berjuang memperbaiki nasib bangsanya. Sebagian besar rakyat kita adalah masyarakat yang belum bebas dari kebodohan dan kemiskinan, dipundak mahasiswa-lah mereka menaruh harapan akan masa depan anak-anaknya agar hidup lebih baik dimasa mendatang. Melalui kemampuan intelektualitas, seyogyanya mahasiswa mampu menangkap perasaan rakyat akan pentingnya kesejahteraan dan demokrasi, yang adil dan merata, sebagai konsekuensi logis dari negara yang merdeka-berdaulat.

Kemerdekaan berarti kebebasan untuk menentukan nasib dan memiliki kesempatan yang egaliter untuk berkehidupan. Artinya, kemerdekaan harus mampu mengangkat harkat dan martabat rakyat untuk hidup layak, serta turut andil dalam proses ber-negara. Itulah demokrasi, rakyat memiliki hak untuk terlibat dalam urusan Negara, sesuai dengan sistem negara yang disepakatinya. Dalam hal ini, rakyat berhak mempertanyakan nasibnya dan menyuarakan pendapatnya. Secara kolektif, perikehidupan rakyat yang baik akan tercipta bila negara dikelola oleh aparat yang bersih, jujur dan transparan dalam melaksanakan tugasnya. Konsekuensinya Negara harus bebas dari praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme ekonomi yang mengorbankan kepentingan rakyat. Maka hanya dengan pemerintahan yang bersih dan kejujuran, para pengelola negara memiliki kewibawaan. Untuk menjamin Negara yang sehat, tidak lain Hukum harus ditegakkan. Supremasi hukum, merupakan fondasi yang mengikat objektifitas penyelenggaraan negara dimana pengelola negara hanya mengabdi pada kebenaran dan kepentingan umum. Hanya dengan menegakkan hukum dan moralitas kejujuran, demokrasi yang sebenarnya akan terbangun dengan kokoh. (Yuddy Chrisnandy,)

Secara faktual, mahasiswalah yang menjadi ujung tombak sekaligus mainstream dari gerakan perubahan yang berlangsung di manapun. Dengan nalar intelektualitasnya, mahasiswa mampu menemukan argumentasi rasionil mengenai kondisi yang bobrok dan tidak sesuai dengan semangat konstitusi atau nilai kemanusiaan . Permasalahannya apakah kondisi riil saat ini, apakah mahasiswa masih punya nurani untuk melanjutkan agenda reformasi? Mahasiswa jangan melulu berada di kampus, lihatlah kondisi rakyat Indonesia saat ini. Akankah kita biarkan rakyat Indonesia selalu dibodohi. selalu di tindas? Dimana nurani kita, ketika ternyata masih banyak rakyat yang menderita karena ulah penguasa. Jangan biarkan reformasi mati suri ditangan para diktator yang berkedok demokrasi. Jangan pernah takut berjuang kawan, jika perjuangan itu berada dalam jalan kebenaran. Fiat Justicia Roeat Coulum (Tegakkan keadilan meski langit akan runtuh).

Perlawanan Terhadap Upaya Meng-Komersialisasikan Pendidikan

Perlawanan Terhadap Upaya Meng-Komersialisasikan Pendidikan


Perubahan status BHMN di berbagai kampus negeri mendapat penolakan mahasiswa, di UI mahasiswa yang menolak di kenakan DO/skorsing, di Universitas hasanuddin juga dilakukan D.O/Skorsing terhadap aktivis mahasiswa yang menolak BHP, bahkan pembekuan lembaga kemahasiswaan yang ber-posisi menolak kebijakan rektorat. Di USU ketua Presiden Mahasiswa USU di D.O karena berupaya membongkar kasus korupsi rector USU. Di Universitas Sam Ratulangi(Unsrat) Manado sosialisasi BHP di gagalkan oleh aksi spontan mahasiswa, karena Unsrat juga di prediksikan akan mengarah ke BHMN. Naiknya biaya pendidikan telah menimbulkan perlawanan dari massa mahasiswa, di UGM aksi mahasiswa mendapat dukungan dari tenaga pengajar(dosen), demikian pula di Unsrat Manado aksi mahasiswa mendapat sokongan penuh dari tenaga pengajar. Kejadian serupa juga pernah terjadi di kampus UPN (Surabaya), Unila(Lampung), Univ.Udayana(Bali) dan beberapa kampus lainnya di Indonesia.


Catatan untuk perlawanan mahasiswa dan (sedikit) tenaga pengajar(dosen) ini adalah bahwa(1) perlawanan ini masih relatif kecil, belum melibatkan massa luas mahasiswa padahal persoalan biaya pendidikan adalah kepentingan mayoritas mahasiswa.(2) perlawanan ini masih ber-sifat lokalis dan spontan, tidak ada jaringan antar kampus yang mengkoordinasikan perlawanan mahasiswa. Padahal kebijakan ini akan merambah keseluruh Universitas di seluruh Indonesia, sehingga butuh perlawanan dalam skala nasional pula yang di organisasikan oleh sebuah komite nasional. (3) pemahaman aktivis mahasiswa masih cupet, terkadang persoalan –persoalan di kampus dianggap terpisah dengan akibat proyek neoliberal di sektor rakyat lainnya. Sehingga menurut pandangan cupet ini, agenda menolak BHP/BHMN cukup menjadi agenda mahasiswa saja. (Rud)

Ketua LMND wilayah DIY


Mengambil Alih Kendali (NASIONALISASI) INDUSTRI PERTAMBANGAN untuk kesejahteraan BURUH dan RAKYAT INDONESIA!!

May Day, Saatnya Gerakan Demokratik

Mengambil Alih Kendali (NASIONALISASI) INDUSTRI PERTAMBANGAN untuk kesejahteraan BURUH dan RAKYAT INDONESIA!!

Oleh : Hengki*

Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh,

bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah

ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas

tapak palune pande, ora tedas gurindo. “Soekarno”

(Pidato 17 Agustus 1963)


Cukup sudah landasan bagi rakyat indonesia untuk membuat langkah terobosan, selamatkan negeri dari hisapan gurita korporasi asing. Langkah tersebut adalah mengambil-alih kendali sektor yang paling dibutuhkan, yakni: sektor pertambangan. Untuk di arahkan manfaatnya bagi kesehjahteraan rakyat. Landasan pertama, dari segi nilai dan keadilan dan kemanusiaan, telah melakukan pelanggaran yang sangat buruk, ketika mereka-yang sebenarnya adalah tamu –berpesta pora selama berpuluh tahun dari penjajahan sumberdaya alam, sementara bangsa yang menjadi tuan rumah menjerit kelaparan, meraba-raba dalam kebodohan dan merangkak dalam kualitas hidupnya. Ketidak setian ini lahir dari watak modal yang memamng tidak berprikemanusiaan dan tidak berprikeadilan, serta watak pemerintah indonesia yang hanya menjadi calo pengobral kekayaan negeri sekaligus menjadi mandor penjaga kepentingan tuan-tuan korporasi. Dari negeri ini setiap tahun, Chevron menjual minyak senilai 16,5 milyar USD, Freeport Indonesia mendapat keuntungan 297 juta USD, ExxonMobil oil setidaknya memboyong 8 milyar USD, Newmont menguasai 11 juta ons emas dan 10 milyar pon tembaga dari NTB, belum terhitung Conoco Philips, Shell, British Petrolium (BP), Sumitomo, Inco dll. Situasi Kontras, di banding penduduk Indonesia yang hidup dibawah 2 USD per hari, 40 juta pengangguran, jutaan anak putus sekolah, dan ratusan bayi bergizi buruk.

Landasan Kedua, krisis energi, yang merupakan salah satu di antara banyak ironi. Indonesia merupakan negeri penghasil batu bara terbesar di dunia (158 juta ton tahun 2007), pemilik cadangan gas alam terbesar ke- 11 di dunia (98 triliun kaki per segi) sekaligus peringkat satu eksportir di dunia, produsen 110 ribu barel minyak mentah per tahun, serta pemilik beragam kekayaan sumber energi ( p ana s bumi , a i r, s ina r ma t aha r i , uranium/potensi nuklir, dsb). Kenyataan yang terjadi: listrik kekurangan pasokan energi sehingga sering padam, sector industri harus membeli BBM dengan harga kartel Singapura (Mid Oil Platts Singapura - MOPS) sehingga berkontribusi pada upah murah plus hantu PHK bagi buruh, dan rakyat mengantri pajang untuk dapatkan minyak tanah keperluan rumah tangga. z Dampak lebih lanjut di sektor kehidupan rakyat, antara lain, harga barang kebutuhan melejit, ongkos transportasi mahal, produktivitas menurun, yang berarti kemiskinan semakin akut. Ketidaksiapan untuk beralih ke sumber energi alternatif dapat dijadikan kambing hitam, tapi peningkatan produksi masih dapat dilakukan melalui pembangunan kilang baru atau memperbesar kapasitas kilang yang ada. Liberalisasi ekonomi oleh pemerintah selama ini, yang menguntungkan segelintir pemodal termasuk di sektor pertambangan, sudah harus dihentikan. Sebaliknya, kedaulatan atas sumberdaya alam harus dipastikan—disertai pemutihan 150 milyar USD utang luar negeri, sehingga ketahanan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat dapat terwujud.

Atas dasar kedaulatan nasional dan kepentingan rakyat tersebut, maka Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) mengajak seluruh gerakan demokratik turun kejalan dan meneriakan tuntutan:

1. Menuntut pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengumumkan dekrit, mengambil-alih kendali (nasionalisasi) industri pertambangan, membatalkan dan merombak kontrak kerja sama dengan perusahaan pertambangan asing yang telah merugikan kepentingan nasional dan memiskinkan rakyat. Orientasi kebijakan pertambangan harus ditujukan untuk:

1.1. Memenuhi kebutuhan dalam negeri, baik bahan baku industri maupun sumber energi untuk keperluan industri, rumah tangga, dan transportasi.

1.2. Menyediakan basis industri hulu yang tangguh dengan pembangunan industri pengolahan hasil sumber daya alam, terutama yang paling mendesak dibutuhkan bagi industrialisasi nasional (bijih besi, alumunium, energi alternatif, kilang minyak, dsb).



1.3. Mengalokasikan keuntungan yang diperolehdaripenjualan komoditI pertambangan untuk kesejahteraan rakyat (pendidikan dan kesehatan gratis, membuka lapangan pekerjaan, dll).

2. Mengajak kaum buruh (yang bekerja di seluruh sektor, termasuk pertambangan, asing maupun dalam negeri) beserta seluruh rakyat Indonesia, untuk bersama-sama berjuang mengambil-alih kepemilikan dan pengoperasian industri pertambangan bagi kepentingan nasional atau kemakmuran rakyat.

3. Mengajak rakyat di semua negara, dan pemerintahan progresif di seluruh dunia, untuk membangun kerja sama antar bangsa yang saling menguntungkan, atas dasar solidaritas kemanusiaan, keadilansosial , dan persaudaraan antar bangsa/perdamaian.

Untuk itu, tahun 2008 ini dalam momentum May Day tak salah lagi bila kita tak ingin ketinggalan kereta kesejahteraan adalah saatnya banting stir : membangun haluan ekonomi baru untuk membangun ekonomi kerakyatan sebagai jawaban atas gagalnya liberalisasi ekonomi di dalam negeri seperti yang juga disuarakan beberapa elemen kaum muda akhir-akhir ini. Akan tetapi, tanpa alat politik dan gerakan, cita-cita mulia tersebut tentu saja hanya akan menjadi slogan kosong...!!

Banting stir menuju Jalan Baru, Partai Baru, dan Presiden Baru!!

Kibarkan Tri Panji Persatuan Nasional!!


HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI!!

NASIONALISASI INDUSTRI PERTAMBANGAN!!

MEMBANGUN INDUSTRIALISASI NASIONAL!!


Cukup Sudah Jadi Bangsa Kuli, Bangkit Jadi Bangsa Mandiri!!


* Sekretaris LMND Jawa Tengah.