Selasa, 23 Desember 2008

Lawan atau Miskin

Lawan atau Miskin

Oleh : Fahruddin Fitriya


Indonesia yang terkenal dengan kekayaan sumberdaya alamnya kini tampak murung. Kemiskinan, kesedihan, dan kematian tak sulit lagi di dapati di negeri ini. Meskipun Indonesia hari ini tidak mengalami peristiwa yang persis saat terjadi pertempuran antara revolusi dan kontra-revolusi, tetapi korban akan terus berjatuhan karena semakin melambungnya harga-harga bahan pokok, Hidup semakin susah dan nasi tidak lagi bisa terbeli. Akhirnya kematian terpaksa menjadi jalan terakhir untuk membebaskan diri dari penatnya kehidupan. Seperti baru-baru ini di Tegal Jawa tengah seorang ayah meminum racun serangga bersama anak-anaknya untuk mengakhiri hidup dan lagi seorang ibu yang tengah hamil tua di Makassar, tubuh perempuan itu meregang, pucat, kaku, dan mati. Suaminya memeluknya dan seolah ingin menahannya jangan pergi. Dan kini, ia tidak lagi menyaksikan anak-anaknya duduk berjejer menunggu sarapan tiba dengan mulut yang berharap. Itupun tak berhenti di Makasar dan Tegal.

rakyat miskin bingung mencari nasi, orang-orang kaya tetap bisa mengunjungi restoran, memesan makanan yang paling enak, tidur di hotel mewah, menikmati taman bunga, berbincang-bincang tentang keindahan, merencanakan masa depan, dan menumpuk harta untuk tujuh turunan. Disaat yang sama, para penyelenggara negara bingung bagaimana membuat dan menghabiskan anggaran. Demikian juga dengan para politikus, ribut soal kekuasaan, dan tiba-tiba tampil di depan publik sebagai guru moral. Pantaslah jika kita menyebut negeri ini sebagai negeri maling yang diselenggarakan oleh para badut. Tampaknya cocok jika mengundang Jemek Supardi, seorang seniman pantomim asal Jogja, untuk mengisi acara di istana presiden dan di gedung DPR, agar mereka tahu bahwa mereka hanyalah badut-badut politik yang berjubahkan kearifan.

Ini cukup memprihatinkan. Ini pertanda telah matinya moralitas. Moralitas dipandang hanya sebagai instrumen. Ia akan muncul jika produktif untuk sebuah kepentingan, dan sebaliknya, dibuang jika ia cukup mengganggu jalannya sebuah kepentingan tersebut. Dan jika hal tersebut terjadi, yakni moralitas hanya sebagai instrumen belaka, maka solidaritas sosial akan mundur, dan kehidupan terasa semakin murung.

Emile Durkheim mejelaskan tentang mundurnya solidaritas sosial mekanis, yang telah menjadi ciri khas suatu masyarakat, karena dampak dari modernitas. Kapitalisme yang paling bertanggungjawab atas lahirnya masyarakat modern yang rapuh dan hilangnya solidaritas sosial mekanis itu. Masyarakat modern, sebagai simbol kemajuan suatu peradaban

ternyata bertumpu pada ratap tangis rakyat miskin, Pembangunan yang melampaui batas merupakan hasil dari penghisapan yang melampaui batas pula. Kekayaan alam suatu negeri yang seharusnya bisa dinikmati bersama telah dirampas oleh suatu gerombolan. Gerombolan tersebut adalah persekutuan antara penguasa dan pemilik modal besar. Dampaknya cukup mencengangkan: kemiskinan, kelaparan, dan kematian. Dibalik gedung-gedung megah di Jakarta, terdapat kampung-kampung kumuh yang sangat menyedihkan; dibalik kafe-kafe elit, restoran-restoran mewah, terlihat anak-anak jalanan menjalani hidupnya sebagai pengamen dan pengemis; dan dibawah terangnya lampu-lampu kota, kita bisa melihat puluhan buruh bangunan berjongkok di terotoar, menunggu nasib, hingga larut malam.

dasar moralitas baru adalah penting guna membangun kehidupan sebagaimana mestinya. Moralitas baru yang terbebas dari hegemoni kapitalisme. Moralitas baru itu adalah ”kesadaran kelas”, suatu kesadaran politik untuk menghancurkan kapitalisme, merebut kekuasaan, melakukan reorganisasi ekonomi -- baik mengenai kepemilikan maupun sistem produksi. Moralitas baru yang melahirkan kepemimpinan revolusioner, partai revolusioner, basis massa yang solid dan militan, yang akan menuntaskan permasalahan bangsa dengan mendekonstruksi organisasi dan moral kapitalistik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar