May Day,
Bukan Saja Momentum Bagi Kaum Buruh
Bagi kaum buruh 1 Mei merupakan hari yang ditunggu-tunggu, karena pada 1 Mei kaum buruh sedunia memperingati Hari Buruh Internasional. Pada hari itu tidak asing bila ditemukan pemandangan berupa aksi-aksi masa, unjuk rasa ataupun demonstrasi di pusat pemerintahan kota maupun di pabrik-pabrik. Bagi kebanyakan orang yang kurang menghargai demokrasi aksi unjuk rasa seakan-akan merupakan hal yang tabu. Tetapi perlu juga kita lihat apakah selama ini buruh atau pekerja di Indonesia sudah mendapatkan apa yang dinamakan upah layak? Ketika melakukan unjuk rasa dengan gelombang aksi masa yang besar para buruh akan bisa meneriakkan ketertindasanya selama ini yang dilakukan oleh para pengusaha yang pro kapitalis.supaya kita yang berada di “puncak gunung” pun tahu. Bahkan tidak hanya para pengusaha saja yang menindas kaum buruh. Wakil rakyat di DPR pun melakukan itu, terbukti dengan dikeluarkannya produk hukum berupa UU No.13 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan, yang jelas-jelas kurang berpihak pada kepentingan buruh. Masih adanya Outsourching, PHK sepihak ini merupakan salah satu bukti bahwa pemerintah tidak perhatian terhadap nasip para pekerja. Adanya Upah Minimum Kota (UMK) yang mestinya tujuannnya adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi kaum buruh saat ini pun belum sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Balum lagi kondisi social ekonomi saat ini dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok.
Kita coba lihat sejarah kebangkitan gerakan buruh, Ketika selama berabad-abad kaum pekerja ini bekerja siang malam, sampai-sampai lebih dari 12 jam sehari, tanpa mendapatkan imbalan yang sepadan, sehingga bangkit kesadaran, menuntut keadilan. Pada tahap pertama perlawanan mereka dalam bentuk menjadikan perkakas produksi, mesin sebagai sasaran perusakan. Kemudian kesadaran menuntut keadilan dan berlawan itu terus tumbuh, dan pada akhirnya mereka menyedari bahwa nasib buruk yang menimpa mereka bukanlah alat-alat dan perkakas produksi, melainkan majikan, penguasa atau pemilik alat dan perkakas produksi itu.
Kaum borjuis telah menguras tenaga kaum pekerja dan mengisap dengan nyaman hasil kerjanya dalam bentuk nilai lebih. Oleh karena itu kaum pekerja menjadi sadar bahwa kepada majikan itulah perlawanan harus ditujukan. Yang dimaksud dengan perlawanan di sini adalah memperjuangkan hak-haknya dan keadilan dalam soal syarat-syarat kerja dan upah yang layak dari majikan. Mereka menuntut upah yang adil, kenaikan upah sesuai dengan tenaga dan waktu yang telah dipakai untuk berproduksi, syarat kerja yang baik, penurunan jam kerja, ruang kerja yang sehat, jaminan keamanan kerja, jaminan kesehatan dan pengobatan, jangka waktu libur untuk perempuan hamil menjelang dan sesudah bersalin, dan lain-lain.
Kondisi diatas diperparah lagi dengan realita saat ini, di negeri ini. Ketika sebagian besar perusahaan yang ada adalah milik pengusaha asing yang sama sekali tidak pernah berfikir tentang kesejahteraan buruh, yang lebih senang berinvestasi ketika upah buruh di suatu tempat tergolong rendah. Kini sudah saatnya para borjuasi-borjuasi asing itu ditendang jauh-jauh dari negeri ini terutama perusahaan-perusahaan di sector petambangan seperti Exxon dan Freeport yang jelas-jelas menambah sengsara rakyat. Di papua lima bahasa daerah papua telah hilang selama Freeport beroperasi disana. Ternyata kehadiran perusahaan asing tidak hanya menyerang ekonomi bangsa ini saja namun secara budaya juga telah mencederai budaya bangsa ini.
Sekarang sudah tidak ada alasan lagi bagi pemerintahan SBY-JK untuk tidak menasionalisasikan industri tambang. Karena inilah salah satu sumber penyakit yang harus diobati untuk saat ini. Nasionalisasi Industri Pertambangan adalah sebuah jawaban untuk bangkit dari keterpurukan yang selama ini dialami. Sekarang tidak hanya buruh saja yang harus meneriakkan Nasionalisasi Industri pertambangan, tetapi semua sector rakyat termasuk mahasiswa juga harus mulai bergabung dalam gerakan ini. Mahasiswa jangan sampai tidak mengerti bahkan tidak mau tahu itu, jika seperti itu berarti sudah kondisi yang sangat parah. Karena tugas mahasiswa selain belajar mahasiswa juga sebagai Agent Sosial Control dan agen Perubahan ( Of Change). Ketika mahasiswa berbicara masalah buruh hari ini, mahasiswa bicara masalah kerakyatan itulah menu mahasiswa sehari-hari, disamping harus belajar di kampus. Kalau saat ini belum terwujud suasana seperti itu, ayo bareng-bareng kita wujudkan.
Rahmat Sutopo
Ketua LMND kota Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar