Selasa, 23 Desember 2008

Politik Lingkungan Hidup di Indonesia

Politik Lingkungan Hidup di Indonesia

Masalah-masalah lingkungan hidup selalu diidentifikasi sebagai low politics dalam terminologi ilmu politik. Ia tak terlalu penting, padahal kelangsungan nasib 6 milyar manusia penghuni bumi sungguh bergantung padanya.

MASALAH lingkungan hidup bukan cuma soal pembuangan limbah yang seenaknya, kebakaran hutan, atau terus bertambahnya daftar spesies-spesies langka yang musnah. Sebagai sebuah isu sosial, lingkungan hidup mulai ramai dan santer diperbincangkan sekitar tahun 1960-an di Barat. Di bawah bayang-bayang kian memanasnya Perang Dingin menyusul perlombaan senjata pemusnah massal. Sejarah kepedulian dalam mengelola lingkungan hidup dimulai sewaktu di Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Otto Soemarwoto menggelar Seminar Nasional Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Mei 1972. Sebulan kemudian Indonesia mengirim delegasi ke Konferensi Stockholm. Sepulang delegasi dari Stockholm, Pemerintah membentuk Panitia Negara Lingkungan Hidup dan akhirnya dalam Kabinet Pembangunan III Prof. Emil Salim ditugaskan sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH). Namun, sama halnya dengan apa yang terjadi di lingkungan internasional, lingkungan pun bukan isu primadona dalam dunia perpolitikan Indonesia. Sekali-sekali, kita dikejutkan oleh berita-berita yang menyangkut nama-nama besar seperti Habibie atau Bob Hasan dalam permainan politik lingkungan, tapi lingkungan tetap jadi isu marjinal di negara ini. Kita semua tentunya masih ingat saat hutan di Kalimantan dan Sumatera terbakar pada akhir tahun 1997. Elit politik dan bisnis di Jakarta saling tuding menuding dan tak mau disalahkan. Kaitan isu lingkungan dan politik di level lokal di Indonesia lebih dahsyat lagi. Sejak awal Indonesia berdiri, sumber daya alam sudah dibebat rapat-rapat oleh negara dan dijadikan miliknya. Dengan demikian hak suku asli atas sumber daya alam otomatis hilang karena adanya penguasaan negara. Ketika potensi lingkungan disadari bermanfaat sebagai sumber daya ekonomi, maka hak-hak suku asli dirampas oleh negara atas nama kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya untuk melapangkan jalan bagi eksploitasi sumber daya alam. Lingkungan yang jadi tempat hidup berjuta spesies bukan milik siapa-siapa. Tapi manusia besikeras memiliki dan merusaknya. Ketika kita nonton Discovery Channel atau Dunia Dalam Berita pernahkah terbayang bagi kita bahwa apa yang mereka tampilkan itu sebenarnya sama saja? Kedua merupakan belantara perebutan kekuasaan yang tak kenal batas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar